Para siswa sekolah menengah atas yang mengikuti aksi unjuk rasa (Foto: Istimewa)
Jakarta, Jurnas.com – Hari Rabu tanggal 25 september 2019 menjadi hari yang menyentak banyak pihak. Anak-anak bergerak menuju gedung DPR RI untuk melakukan aksi demonstrasi seperti yang dilakukan oleh para mahasiswa dalam rentang dua hari sebelumnya. Mereka datang dalam jumlah ratusan ini berasal dari berbagai wilayah di Jakarta dan sekitarnya.
Tujuan mereka datang ke DPR adalah sebagai rasa solidaritas terhadap kakak-kakak mahasiswa yang berdemo menuntut pembatalan terhadap pengesahan UU KPK, dan penundaan RKUHP.
Secara umum kebanyakan dari anak-anak ini tidak terlalu memahami maksud tujuan demo yang mereka lakukan. Mereka melakukan aksi demonstrasi karena merasa terdorong dan termotivasi oleh perkembangan berita yang ada, bahkan ada juga yang terprovokasi dari media sosial.
Anak-anak ini berasal dari berbagai sekolah, ada yang dari STM, SMA, bahkan ditemukan ada anak yang masih duduk di bangku SMP. Usia mereka rata-rata 18 tahun kebawah.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Generasi Ena Nurjanah menilai demonstrasi yang dilakukan oleh anak-anak sekolah kemarin tidak berjalan mulus.
Dalam perjalanan menuju DPR, anak-anak justru ada yang melempari aparat keamanan dengan batu sehingga situasi menjadi tidak kondusif dan mendorong aparat keamanan untuk bertindak represif dengan melakukan pengejaran dan pengamanan terhadap mereka.
Peristiwa ini berlanjut dengan penangkapan ratusan anak-anak sekolah dan ditahan di kepolisian. Ada yang kemudian dipulangkan setelah diperiksa, ada pula yang masih ditahan karena membawa senjata tajam dan melakukan penyerangan terhadap aparat keamanan.
Hingga malam hari anak-anak ini banyak yang masih berada di kantor polisi menunggu kedatangan para orangtua mereka. Ada pula anak-anak yang masih di rawat di rumah sakit karena mengalami luka-luka akibat bentrok dengan aparat kepolisian.
Secara keseluruhan masyarakat menyayangkan keterlibatan anak-anak dalam kegiatan demonstrasi. Ada yang curiga bahwa mereka hanya menjadi korban provokasi pihak-pihak tertentu.
“Demonstrasi yang dilakukan para pelajar kemarin menjadi bahan evaluasi mendesak dari pemerintah agar tidak lagi terjadi eskalasi jumlah anak-anak yang terlibat dalam kegiatan demo,” ucapnya.
Kecurigaan adanya provokator yang mendorong anak-anak sekolah berdemonstrasi juga harus diusut tuntas dan pelakunya harus mendapat hukuman maksimal.
Dalam melakukan penanganan terhadap anak-anak yang berdemo, pemerintah harus mendorong aparat keamanan agar tidak melakukan tindakan represif yang dapat melukai ataupun membahayakan anak-anak.
Aparat kepolisian juga harus tetap mengedepankan UU Perlindungan Anak dan menggunakan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dalam penanganan anak-anak yang berhadapan dengan hukum.
Dalam situasi yang tidak terkendali tentunya memang sangat sulit aparat kepolisian untuk bertindak persuasif. Namun, hal ini tidak bisa dijadikan alasan bagi aparat kepolisian untuk melakukan tindakan represif terhadap anak-anak. Karena, anak-anak memiliki hak perlindungan dari berbagai tindak kekerasan sebagaimana yang diatur dalam UU Perlindungan anak.
Menurut Ena, secara umum anak-anak belum terlalu memahami sepenuhnya permasalahan yang ada. Namun, situasi ini justru sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mencari keuntungan bagi dirinya dengan memancing semangat muda para pelajar yang cenderung impulsive, kurang mawas diri dan kurang dalam penalarannya.
“Situasi ini harus dipahami semua pihak, terutama para orang tua dan pendidik di sekolah agar bisa menjadi teman maupun tempat dialog yang kondusif bagi anak-anak. Sehingga bisa meredam kebingungan atas apa yang mereka lihat maupun saksikan di berbagai media,” ungkapnya.
TAGS : Anak Sekolah Aksi Demo Perlindugan Anak
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/59890/Hentikan-Pelibatan-Anak-Dalam-Demonstrasi/