DENPASAR, BALIPOST.com – Siapa yang menyangka jika liburan yang sedianya untuk melepas penat dan kembali refresh setelah berbulan-bulan berdiam diri di rumah karena pandemi COVID-19 justru menjadi sebuah pelajaran yang sangat mahal. Setidaknya itu lah yang dirasakan Arwin Rasyid. Pengusaha yang pernah menjabat sebagai Direktur Utama Telkom Indonesia ini merupakan salah satu penyintas COVID-19. Simak pengalamannya sebagai penyintas.
Dalam sebuah talkshow virtual “Perjuangan Penyintas Melawan COVID-19” yang digelar Satgas COVID-19 Nasional, Senin (19/10), di Graha BNPB Jakarta, yang disiarkan langsung di akun YouTube BNPB dan dipantau dari Denpasar, Arwin dengan gamblang menceritakan pengalamannya terkena COVID-19.
Mantan Direktur Utama CIMB Niaga ini bertutur tentang awal mula dirinya terkena COVID-19. Pada saat itu, ia sedang berlibur di Bali dengan sejumlah temannya sesama pegolf. Di Bali, dirinya pun melakukan liburan layaknya wisatawan. Golf, bersantai, dan makan-makan serta berbagi cerita dengan teman yang diajaknya berlibur.
Namun pada suatu hari, tepatnya 11 September malam, ia mengaku merasa demam. “Saya pikir demam biasa karena saya tidak ada tanda-tanda COVID, seperti pilek batuk, dan hilangnya tanda-tanda penciuman. Saya tidak ada itu,” ungkapnya.
Karena demamnya tidak kunjung sembuh, ia pun memutuskan untuk balik ke Jakarta. Sebelum balik ke Jakarta, dirinya pun di rapid test dan hasilnya non-reaktif. “Sesampai di Jakarta, saya mengambil blood test, DBD sama Thypus. Waktu saya ambil swab test, saya cerita dengan teman-teman di Bali. Mereka juga swab test, semuanya COVID-19 sekaligus. Jadi kita enam orang semuanya COVID,” sebutnya.
Disebutkan Arwin, dua diantaranya masuk rumah sakit. Sedangkan sisanya dikarantina mandiri. “Semuanya positif saat Swab. Mereka ada demam, tapi tidak seperti saya. Tanda-tanda kenanya beda-beda,” ujarnya.
Ia mengaku lalai. Sebab ketika makan bersama, lepas masker dan duduk dekat-dekat. Tidak menyadari ada orang tanpa gejala (OTG) sehingga kemungkinan menulari yang lainnya. “Kita ini sering kumpul malam, duduk dekat-dekatan, dan tidak pakai masker. Ini merupakan pelajaran mahal bagi saya bahwa kita ini mungkin merasa aman saja, padahal tidak,” cetusnya.
Arwin mengatakan bahwa dirinya dan istrinya dan anggota tertentu saja yang mengetahui ia terjangkit COVID-19. Ia tidak mau membikin cemas keluarga besar.
Ia juga mengatakan support system (sistem dukungan) di keluarganya sudah berjalan. Bahkan ketika ada di RS, ia tiap tiga jam ditelepon istri, adik, dan anak-anak. Karena kebetulan kamarnya ada jendela besar dan dekat jalan raya, terkadang keluarga datang dan melambaikan tangan dari jauh. Hal ini, menurutnya, yang menambah semangat agar dirinya cepat pulih.
Dua tiga hari di RS, Arwin mengutarakan penuh penyesalan dan cemas. Baru pada hari ketiga, dirinya mulai terima apa yang terjadi. Ini yang mengubah menjadi lebih optimis. Sebab, ia mengaku sudah menderita diare, batuk, dan oksigen turun. “Di situ ada kecemasan luar biasa. Tiap malam berdoa. Awalnya penyesalan luar biasa, kenapa tidak hati-hati,” sesalnya.
Setelah sembuh, ia pun membuat testimoni terkait penyakit itu dan obat-obatan yang dikonsumsinya. Ini, agar masyarakat bisa lebih memahami tentang COVID-19.
Ia mengatakan ada tiga pesan yang ingin dibaginya, yakni datangnya COVID-19 itu dalam berbagai bentuk sehingga jangan terkecoh. Tanda-tandanya lain di setiap orang. Lakukan pemeriksaan secepatnya.
Kedua, jika tau positif COVID-19, jangan panik. “Jangan panik, kita tenang, kita coba hadapi sebaik mungkin,” tegasnya.
Pesan ketiga, harus optimis dan banyak berdoa. Meski, ia mengakui hal itu tidak gampang.
Psikolog Edward Andriyanto Sutardhio mengatakan dukungan orang terdekat, saudara, dan kerabat bisa membangkitkan hormon positif bagi pasien Covid-19. Dukungan keluarga terdekat atau kerabat sangat berpengaruh bagi kesembuhan pasien Covid-19.
dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu mengungkapkan dari penelitian terbaru, ternyata, suara bisa bangkitkan hormon positif. Padahal penelitian yang lama itu dengan sentuhan mampu membangkitkan hormon positif.
“Suara bisa bangkitkan hormon positif. Tapi bukan asal suara. Melainkan suara dari orang yang dikasihi. Ketika diperdengarkan suara kerabatanya itu pasien merasa menjadi lebih baik,” ujar Edward Andriyanto Sutardhio.
Edward menyatakan pihaknya banyak melakukan pendampingan psikologis pada pasien Covid-19 agar bisa mengeluarkan pikiran negatif atau kekhawatiran dengan ketidak-nyamanan. Ia menyebut pendampingan itu dengan istilah psikologi sosial, yakni membantu mereka mengutarakan tujuan jangka pendek dan positif.
“Jadi mereka berpikir bagaimana saya berhasil, bisa duduk, bisa berdiri, lepas dari inkubasi. Jadi goal-goal (tujuan) jangka pendek bisa dilakukan sehingga pikiran tetap positif,” jelas Edward. (Diah Dewi/balipost)
Credit: Source link