JawaPos.com – Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritisi perombakan struktur di internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menegaskan, KPK di bawah komando Firli Bahuri harusnya fokus pada perbaikan kinerja ketimbang merombak struktur organisasi yang bertentangan dengan undang-undang dan efektivitasnya dipertanyakan.
“Mestinya saat ini KPK memfokuskan pada perbaikan kinerjanya sendiri, ketimbang merombak susunan internal yang sebenarnya bertentangan dengan undang-undang dan efektivitasnya juga dipertanyakan,” kata Kurnia dalam keterangannya, Kamis (19/11).
Kurnia memandang Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja yang merombak struktur organisasi KPK rentan dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Menurutnya, produk hukum tersebut bertentangan dengan Undang-Undang KPK.
“ICW menilai produk hukum internal KPK ini amat rentan untuk dibatalkan melalui uji materi di Mahkamah Agung,” cetus Kurnia.
Kurnia mengingatkan, UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK atau UU KPK hasil revisi tidak mengubah Pasal 26 UU Nomor 30 tentang KPK. Dia menegaskan, bidang-bidang yang ada di KPK masih seperti sedia kala sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU Nomor 30 Tahun 2020, yakni Bidang Pencegahan, Bidang Penindakan, Bidang Informasi dan Data, serta Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
“Namun yang tertuang dalam PerKom 7/2020 malah terdapat beberapa penambahan seperti Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat serta Bidang Koordinasi dan Supervisi. Ini sudah terang benderang bertentangan dengan UU KPK,” ujar Kurnia.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengakui adanya perubahan struktur organisasi di internal KPK. Perubahan struktur di lembaga antirasuah itu diklaim sesuai dengan strategi yang akan dikembangkan di KPK.
“KPK kini mengembangkan pemberantasan korupsi dengan tiga metode, yaitu pertama penindakan, kedua pencegahan dan ketiga pendidikan sosialisasi dan kampanye,” ujar Ghufron, Rabu (18/11).
Pimpinan KPK berlatar belakang akademisi ini menegaskan, pemberantasan korupsi tidak bisa lagi ditangani hanya sebagai kejahatan personal. Melainkan, kejahatan korupsi saat ini sudah sistemik yang perlu penanganan komprehensif.
“Karena kami memandang pemberantasan korupsi tidak bisa lagi didekati hanya sebagai kejahatan personal, tapi sistemik yang perlu ditanggulangi secara komprehensif dan sistemik pula,” tandas Ghufron.
Melalui Perkom Nomor 7 Tahun 2020 ini, KPK menambah 19 posisi dan jabatan yang tidak tercantum pada perkom sebelumnya, Perkom Nomor 03 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK.
Sembilan belas posisi dan jabatan baru itu di antaranya Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat, Direktorat Jejaring Pendidikan, Direktorat Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi. Kemudian, Direktorat Pembinaan Peran Serta Masyarakat, Direktorat Pendidikan dan Pelatihan Antikorupsi, Sekretariat Deputi Bidang Pendidikan, dan Peran Serta Masyarakat.
Lalu, Direktorat Antikorupsi Badan Usaha, Deputi Koordinasi dan Supervisi, Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah I-V, Sekretariat Deputi Koordinasi dan Supervisi. Serta, Direktorat Manajemen Informasi, Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi, Staf Khusus, Pusat Perencanaan Strategis Pemberantasan Korupsi, dan Inspektorat.
Sementara, ada tiga jabatan dan posisi yang dihapus melalui Perkom Nomor 7 Tahun 2020 yaitu Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, Direkorat Pengawasan Internal dan Unit Kerja Pusat Edukasi Antikorupsi atau Anticorruption Learning Center (ACLC).
Perkom ini juga mengubah nomenklatur sejumlah jabatan, misalnya Deputi Bidang Penindakan menjadi Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi, serta Deputi Bidang Pencegahan menjadi Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring. Penambahan, pengurangan dan perubahan nomenklatur tersebut terlihat dari Pasal 6 Perkom Nomor 7 Tahun 2020.
Saksikan video menarik berikut ini:
Editor : Edy Pramana
Reporter : Muhammad Ridwan
Credit: Source link