JawaPos.com – Pemerintah berupaya untuk merealisasikan target substitusi impor sebesar 35 persen sampai 2022. Industri makanan dan minuman (mamin), sebagai industri yang mengandalkan sebagian besar kebutuhan bahan bakunya dari impor, menjadi sasaran. Industri mamin harus bisa mengurangi impor sampai dengan Rp 3,6 triliun.
Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Abdul Rochim mengatakan bahwa fokus pengurangan impor adalah produk atau industri pengolahan susu. Juga, industri pengolahan buah, industri gula berbasis tebu, dan industri pemurni jagung. Menurut dia, substitusi impor itu merupakan salah satu upaya untuk mendorong pembangunan industri mamin berbasis sumber daya dari dalam negeri.
“Perlu saya sampaikan bahwa substitusi impor, bukan antiimpor. Kalau memang produknya tidak ada di dalam negeri dan dibutuhkan sebagai bahan baku industri, maka impor masih diperbolehkan,” ujar Rochim Senin (23/11).
Pengendalian impor bahan baku bakal dilakukan dengan menyusun daftar produk dalam larangan dan pembatasan (lartas). Selain itu, pemerintah akan melakukan pengecekan sebelum pengiriman, mengalihkan pelabuhan kedatangan ke luar Jawa, dan menaikkan tarif untuk most favourable nations (MFN). Dua cara lainnya adalah mewajibkan SNI dan menerapkan TKDN dengan tegas.
Strategi lain, lanjut Abdul, adalah meningkatkan hilirisasi industri existing. Menurut dia, saat ini utilisasi produksi seluruh sektor pengolahan rata-rata sekitar 60 persen. Pemerintah menargetkan utilisasi produksi meningkat 75 persen pada 2021 dan meningkat lagi menjadi 85 persen pada 2022.
Untuk melancarkan lartas, pemerintah juga menginspeksi pre-shipment, mengatur entry point pelabuhan untuk komoditas tertentu, membenahi lembaga sertifikasi produk, dan menaikkan implementasi trade remedies. “Dengan langkah-langkah itu, impor mamin harapannya dapat terpangkas sampai 3,6 triliun,” beber Abdul.
Sementara itu, pengamat ekonomi sekaligus mantan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi berharap pemerintah tidak hanya menerapkan kebijakan substitusi impor, tetapi juga menyeimbangkannya dengan promosi ekspor. Menurut dia, jika yang didorong hanyalah substitusi impor, berbagai perjanjian dagang seperti RCEP tidak akan memberikan manfaat yang signifikan.
“Kita juga harus menyeimbangkannya dengan langkah-langkah ofensif,” ujar Bayu. Dia mendesak Indonesia meningkatkan daya saing. Itu hanya bisa dibangun secara bersama-sama.
Dia berharap pemerintah berperan menjadi penghubung antara petani sebagai penyedia bahan baku mamin dan korporasi yang mengolahnya.
Credit: Source link