JawaPos.com – BPJS Kesehatan menerapkan sejumlah langkah untuk mencegah potensi kecurangan (fraud). Langkahnya menerapkan sistem verifikasi. Kebijakan itu diterapkan dalam pembayaran klaim rumah sakit untuk kasus Covid-19.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menuturkan, pihaknya bertugas melakukan verifikasi administratif, bukan verifikasi medis. “Kami berupaya melaksanakan penugasan khusus ini secara transaparan dan akuntabel, dengan berpedoman terhadap regulasi yang berlaku sebagai alat ukur untuk memastikan kesesuaian klaim yang diajukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ujar Ali Ghufron Mukti dalam seminar “Pencegahan Fraud dalam Penanganan Covid-19” yang digelar daring oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) Indonesia Chapter, Sabtu (10/4).
Ali Ghufron menyebut, sampai 6 April 2021, terdapat 629.911 klaim kasus Covid-19 yang diajukan oleh rumah sakit ke BPJS Kesehatan dengan biaya sebesar Rp 39,22 triliun.
Adapun proses penanganan klaim Covid-19 melibatkan sejumlah pihak. Selain BPJS Kesehatan yang berperan melakukan proses verifikasi klaim yang diajukan rumah sakit, ada pula dinas kesehatan yang melakukan pembinaan dan pengawasan, serta Kementerian Kesehatan yang berperan melakukan pembayaran klaim, pemberian uang muka, dan menyelesaikan dispute klaim.
Untuk itu, diperlukan kehati-hatian, akuntabilitas, transparansi, dan profesionalisme dari masing-masing pihak dalam menjalankan tanggung jawabnya untuk meminimalisir terjadinya potensi fraud.
“Dalam penugasan khusus verifikasi klaim Covid-19, ada beberapa titik potensi fraud yang harus diwaspadai. Misalnya dari pasien, ada ketidaksesuaian identitas. Risiko fraud bisa ditemukan pada profil rumah sakit, kompetensi, sarana-prasarana, tata koding, dan input klaim pada aplikasi,” bebernya.
Credit: Source link