Pertumbuhan Ekonomi 2022 Diperkirakan Sampai 5-5,5 Persen

Pertumbuhan Ekonomi 2022 Diperkirakan Sampai 5-5,5 Persen

JawaPos.com – Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, hingga saat ini, pandemi Covid-19 masih belum berakhir. Bahkan, pada tahun 2022 mendatang, dunia juga masih akan dihadapkan pada ketidakpastian yang tinggi.

Sebab, Indonesia juga harus bersiap menghadapi tantangan global lainnya, seperti ancaman perubahan iklim, peningkatan dinamika geopolitik, serta pemulihan ekonomi global yang tidak merata. “Karena itu, APBN tahun 2022 harus antisipatif, responsif, dan fleksibel merespons ketidakpastian, namun tetap mencerminkan optimisme dan kehati-hatian,” ujarnya dalam pidato kenegaraan secara virtual, Senin (16/8).

Jokowi mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi 2022 diperkirakan pada kisaran 5 persen sampai 5,5 persen. Pemerintah akan berusaha dengan maksimal mencapai target pertumbuhan di batas atas, yaitu 5,5 persen. Hal tersebut berdasarkan pada kebijakan reformasi struktural serta memperhitungkan dinamika pandemi Covid-19 di Indonesia.

“Namun, harus tetap waspada, karena perkembangan Covid-19 masih sangat dinamis. Kita akan menggunakan seluruh sumber daya, analisis ilmiah, dan pandangan ahli untuk terus mengendalikan Pandemi Covid-19,” tuturnya,

Jokowi melanjutkan, inflasi akan tetap terjaga di level 3 persen yang menggambarkan kenaikan sisi permintaan, baik karena pemulihan ekonomi maupun perbaikan daya beli masyarakat. Rupiah diperkirakan bergerak pada kisaran Rp 14.350 per US Dollar, dan suku bunga Surat Utang Negara 10 tahun diperkirakan sekitar 6,82 persen yang mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia dan pengaruh dinamika global.

Sementara harga minyak mentah Indonesia (ICP) diperkirakan akan berkisar pada 63 US Dollar per barel. Lifting minyak dan gas bumi diperkirakan masing-masing mencapai 703.000 barel dan 1.036.000 barel setara minyak per hari.

Jokowi menjelaskan, APBN berperan sentral untuk melindungi keselamatan masyarakat dan sekaligus sebagai motor pengungkit pemulihan ekonomi. Menurutnya, sejak awal pandemi, Indonesia telah menggunakan APBN sebagai perangkat kontra-siklus atau countercyclical, mengatur keseimbangan rem dan gas, mengendalikan penyebaran Covid-19, melindungi masyarakat rentan, dan sekaligus mendorong kelangsungan dunia usaha.

“Strategi ini membuahkan hasil. Mesin pertumbuhan yang tertahan di awal pandemi sudah mulai bergerak. Di kuartal kedua 2021, kita mampu tumbuh 7,07 persen dengan tingkat inflasi yang terkendali di angka 1,52 persen (YoY). Capaian ini harus terus dijaga momentumnya,” ungkapnya.

Jokowi melanjutkan, reformasi struktural harus terus diperkuat. UU Cipta Kerja, Lembaga Pengelola Investasi, dan Sistem OSS Berbasis Risiko adalah lompatan kemajuan yang dampaknya bukan hanya pada peningkatan produktivitas, daya saing investasi dan ekspor, tapi juga pada penciptaan lapangan kerja yang berkualitas dan pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.

“Pemulihan sosial ekonomi akan terus dimantapkan sebagai penguatan fondasi untuk mendukung pelaksanaan reformasi struktural secara lebih optimal,” ucapnya.

Jokowi menyebut, reformasi struktural merupakan hal yang sangat fundamental untuk pemulihan dan akselerasi pertumbuhan ekonomi pascapandemi karena Indonesia bukan hanya harus tumbuh, tapi tumbuh dengan cepat dan berkelanjutan.

Dengan demikian, kata dia, produktivitas harus ditingkatkan. Produktivitas akan bisa meningkat bila kualitas SDM juga membaik, diperkuat oleh konektivitas yang semakin merata, pembangunan infrastruktur yang dipercepat, termasuk infrastruktur digital, energi, dan pangan untuk mendorong industrialisasi, serta dukungan ekosistem hukum dan birokrasi yang kondusif bagi dunia usaha.

“Pemulihan ekonomi dan kesejahteraan sosial dapat dijaga serta terus dipercepat dan diperkuat. Tingkat pertumbuhan ekonomi ini juga menggambarkan proyeksi pemulihan yang cukup kuat, didukung oleh pertumbuhan investasi dan ekspor sebagai dampak pelaksanaan reformasi struktural. Namun, kewaspadaan tetap diperlukan mengingat ketidakpastian global dan domestik dapat menyumbang risiko bagi pertumbuhan ekonomi ke depan,” pungkasnya.

Editor : Bintang Pradewo

Reporter : Romys Binekasri


Credit: Source link

Related Articles