Turunkan Prevalensi Perokok, RI Bisa Contoh Selandia Baru

Turunkan Prevalensi Perokok, RI Bisa Contoh Selandia Baru

JawaPos.com – Pemerintah saat ini gencar menurunkan prevalensi perokok di Indonesia. Namun, Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (Kabar), Ariyo Bimmo mengatakan, untuk menurunkan angka 65 juta perokok aktif di Indonesia tidak bisa dengan cara yang normatif.

Menurutnya, dalam menurunkan prevalensi perokok tidak semestinya mendesak pabrikan rokok untuk menutup usahanya. Ia mengungkapkan, pemerintah dapat belajar dari Selandia Baru dalam mengambil kebijakan yang berbeda, salah satunya melalui produk tembakau alternatif. Negeri Kiwi tersebut memanfaatkan produk tembakau alternatif sebagai solusi utama dalam mewujudkan program Bebas Asap 2025.

“Kita harus lebih cerdas. Mitigasi risikonya lalu kurangi dampaknya,” ujarnya dalam keterangannya, Senin (4/10).

Ariyo berharap agar pemerintah dapat bersikap terbuka dengan kehadiran produk yang menerapkan konsep pengurangan risiko seperti produk tembakau alternatif. Dukungan terhadap penggunaan produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau dipanaskan, rokok elektrik, maupun snus, juga perlu diperkuat dengan insentif.

“Saya kira itu merupakan cara progresif yang justru membawa keberhasilan seperti halnya Selandia baru, Inggris, Jepang, dan negara-negara Skandinavia,” tuturnya.

Ariyo menyebut, pemerintah tidak perlu ragu untuk menerapkan penggunaan produk tembakau alternatif sebagai pelengkap dari strategi yang sudah dijalankan selama ini dalam mengatasi permasalahan prevalensi perokok. Sebab, penggunaan produk tembakau alternatif seperti Selandia Baru berhasil menurunkan prevalensi merokok menjadi 12 persen pada 2020. Pada 2025, mereka menargetkan prevalensi merokok di bawah 5 persen.

“Pemerintah harus terbuka untuk menerapkan solusi ini (produk tembakau alternatif) sebagai pelengkap upaya yang telah ada. Cerita sukses dan presedennya telah ada,” ungkapnya.

Untuk semakin memperkuat keyakinan dalam mendukung penggunaan produk tembakau alternatif, pemerintah juga harus mendorong riset independen di dalam negeri. Hasil riset tersebut nantinya dapat menjadi acuan dalam mengeluarkan kebijakan yang terkait dengan mengurangi prevalensi merokok. Riset ini juga berfungsi untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat dalam bersikap yang berdasarkan fakta ilmiah.

“Yang perlu digarisbawahi, riset harus dilakukan secara independen, namun transparan dan partisipatif melibatkan juga konsumen, akademisi, dan dunia usaha,” katanya.

Sejauh ini, kata dia, program yang telah dijalankan dalam menekan prevalensi merokok belum membuahkan hasil yang signifikan. Oleh sebab itu, diperlukan solusi yang berbeda untuk mengurangi masalah merokok yang kompleksitasnya tinggi melalui dukungan penggunaan produk tembakau alternatif.

“Terbuka terhadap inovasi teknologi merupakan kunci. Praktek baik di negara-negara yang punya profil perokok serupa patut dijadikan pertimbangan,” ucapnya.

Editor : Kuswandi

Reporter : Romys Binekasri


Credit: Source link

Related Articles