Aprindo Desak Jam Operasional Toko Ritel Modern Diskriminatif Diatur Ulang – KRJOGJA

Aprindo Desak Jam Operasional Toko Ritel Modern Diskriminatif Diatur Ulang – KRJOGJA

JAKARTA, KRJOGJA.com – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy N Mandey menyebutkan agar pemerintah daerah dalam menerapkan aturan jam buka tutup operasional toko modern menyesuaikan dengan pola kebutuhkan masyarakat.

Menurutnya, banyak pemerintah daerah yang mengeluarkan peraturan daerah malah tidak mengakomodir kepentingan masyarakat banyak. Apalagi sampai diskriminatif dengan satu maksud atau kepentingan tertentu dengan membedakan pembedaan jam operasional antara sesama pelaku usaha minimarket, supermarket, hypermarket, dept.store & perkulakan/grosir.

“Sebut saja Perda Kabupaten Sleman Nomor 14 tahun 2019 tentang penataan pusat pembelajaan dan toko swalayan yang, di dalamnya mengatur waktu jam operasional yang berbeda antar sesama minimarket,supermarket, hypermarket, dept.store dan perkulakan/grosir. Menurut perda tersebut, waktu operasional minimarket waralaba dan minimarket cabang diatur buka jam 10.00 WIB dan tutup pada jam 22.00 WIB, sementara minimarket non waralaba dan non cabang boleh buka sejak jam 07.00 WIB dan tutup pada jam 22.00 WIB,” kata Roy.

Roy menjelaskan aturan yang membedakan tersebut seharusnya tidak terjadi, karena idealnya
kehadiran minimarket, supermarket, hypermarket, dept.store & perkulakan/grosir sama – sama melayani kebutuhan masyarakat. “Penerapan pembedaan jam operasional tersebut,
bisa justru membuat masyarakat yang dirugikan Misalnya, jika seseorang hanya bisa berbelanja pada pagi hari atau waktu yang ia miliki sedikit, kemana ia akan membeli kebutuhannya sedangkan toko yang buka pagi kini terbatas atau toko di dekat tempatnya masih tutup,” tandasnya.

Roy berharap pemberlakuan pembedaan jam operasional tersebut perlu dikaji ulang untuk dikembalikan semula secara normal pada berbagai pelaku usaha ritel di Kabupaten Sleman dan sekitarnya. Tujuannya untuk mengakomodir pemenuhan kebutuhan masyarakat dan mendorong daya beli serta konsumsi masyarakat, sehingga perekonomian semakin bergeliat.

“Hal terpenting memberikan dampak ‘diskriminatif’ bagi para pelaku usaha jejaring, yang telah membawa ‘investasi’, menyerap tenaga kerja lokal setempat dan memberikan akses para UMKM lokal,” tandasnya. (*)

 

 

Credit: Source link

Related Articles