Ilustrasi poligami
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Pro kontra penyusunan aturan terkait praktek perzinahan di DPR menunjukkan ada tarik menarik soal dosa nafsu dan rasionalitas kebutuhan biologis. Maraknya tempat prostitusi di kota-kota besar membuktikan adanya kebutuhan yang juga mendasar. Belum lagi jualan via online. Malah sejumlah orang bilang: prostitusi gak bisa dihilangkan. Itu hukum sosial berbasis kebutuhan. Solusinya? Dilokalisasi saja. Disediakan tempat tersendiri. Biar nyaman. Gak ngeganggu orang lain. Nggak ngeganggu atau supaya gak terganggu?
Kenapa tidak poligami sebagai solusi? Poligami? Banyak orang alergi dengan istilah ini. Terutama kaum wanita. Merekalah yang cekatan “meremove” dari group WA para lelaki yang berani angkat bicara soal poligami. Dianggap menabuh genderang perang. Tak ada ampun. Sikat!
Jangan poligami! Itulah kira-kira suara lantang yang ada di benak para istri. 99,99 persen istri enggan dipoligami. Katanya: sakitnya tuh di sini.
Ceraikan aku! Pilih aku atau dia! Itulah kalimat ancaman yang sering terdengar dari para istri. Susah bersama, giliran senang cari yang muda!. Dasar lelaki tak tahu diri!
Ucapan minta cerai itu hal biasa bagi seorang istri. Tidak bagi suami. Kenapa? Karena wanita lebih didominasi perasaan. “Bapernya” lebih berkuasa dibanding akalnya. Sementara laki-laki lebih dominan otaknya. Tidak hanya otaknya, tapi juga kebutuhan biologisnya (syahwatnya).
Sebanyak 80 persen lelaki Amerika selingkuh hanya karena faktor biologis, tanpa melibatkan perasaan. Sebaliknya, 80 persen wanita Amerika selingkuh karena cinta. Hanya 20 persen didominasi perasaan. Bagaimana lelaki dan wanita Indonesia?
Umumnya, wanita berselingkuh karena ada masalah keluarga. Kecewa dan tidak nyaman dengan suaminya. Dia akan berusaha minta cerai suaminya jika lelaki selingkuhannya bersedia menampung dan menikahinya. Tak masalah jika harus jadi istri kedua. Nekat!
Beda dengan lelaki, lebih banyak “ngegombal.” Rasionya lebih waras. Dia tak mudah mengorbankan keluarga yang dibina bertahun-tahun. Pertimbangannya macam-macam. Tahu begitu kenapa selingkuh? Gak komitmen! PHP!
Kebutuhan biologis laki-laki lebih kuat. Sering tak tersalurkan dan dipenuhi di rumah. Istri menstruasi libur. Istri lelah dan capek, libur. Istri berusia di atas 40 tahun, sering hilang moodnya. Istri monopause, pensiun. Sedangkan laki-laki gak ada libur dan masa pensiun.
Mau poligami, istri mengancam minta cerai. Jalan pintas dilakukan: selingkuh atau jajan. Istilah “love after lunch” sudah lama populer di kota-kota besar. Perselingkuhan sesama teman kerja.
Bagi yang kuat iman, perselingkuhan bisa dihindari. Bagi yang gak kuat-kuat amat? Dasar lelaki! Nafsu aja yang diurusin! Begitulah kira-kira dampratan kaum perempuan.
Bagi lelaki yang lagi jatuh imannya, selingkuh jadi jalan pintas, karena poligami sangat berisiko. Pertama, risiko psikologis. Konflik dengan istri karena rasa cemburu sering terjadi. Belum lagi hukuman dari anak-anak yang tidak paham mengapa ayahnya menduakan ibunya. Kedua, risiko sosial. Bukan hanya keluarga istri yang marah, tetangga, teman dan semua orang yang kenal bisa mengecam dan memusuhinya. Teh Nini yang dipoligami Aa Gym, ibu-ibu di luar Bandung yang marah. Alasannya: solidaritas kaum istri. Ha? Ada solidaritasnya?
Ketiga, risiko ekonomi. Konsekuensi poligami harus menafkahi. Apalagi jika wanita yang dinikahi punya anak. Double biayanya. Selorohnya: beli satu dapat dua, tiga atau empat. Bergantung jumlah anak. Apalagi kalau mertua ikut ditanggungnya. Tekor, katanya. Keempat, risiko karir. Ketahuan poligami, karir politik bisa berantakan. Nyalon bupati dan gubernur susah. Apalagi kalau calon presiden.
Belum lagi proses teknis berpoligami. Mesti memenuhi satu diantara dua syarat: istrinya sakit permanen atau tidak punya anak. Nah, ribet. Kecil kemungkinan lolos di Pengadilan Agama.
Tidak sedikit lelaki “nikah siri.” Istri pertamanya tidak tahu. Sengaja diupayakan tidak tahu. Ngumpet-ngumpet. Cukup wali dan dua saksi yang tahu. Simple! Dalilnya: tak ada “syarat dan rukun” memberi tahu istri pertama. Yang penting sah dan halal. Terpaksa, demi pertama, keutuhan keluarga. Kedua, terhindar dari zina. Ketiga, karir politik.
Poligami kucing-kucingan. Meski demikian tetap berisiko lebih besar dari pada selingkuh. Kalau selingkuh, sekali atau beberapa kali pakai. Bisa ganti-ganti pasangan. Gak bosan. Gak perlu ada komitmen. Kecil kemungkinan ketahuan istri. Resiko sosial dan ekonomi juga lebih kecil. Tidak dikutuk banyak orang. Tidak harus keluar biaya bulanan. Karir lancar. Kecuali kalau lagi nasib. Namanya juga nasib. Tapi itu jarang terjadi.
Oleh sejumlah pihak, poligami dianggap tidak rasional dari banyak sisi. Sementara, untuk kalangan tertentu, perselingkuhan “relatif bisa diterima secara sosial”. Setidaknya, hukuman sosialnya tidak seberat perselingkuhan. Ini fakta.
Alasan kebutuhan biologis tak dianggap masuk akal. Data banyak janda yang perlu diselamatkan dituduh mengada-ada. Norma agama diasumsikan sebagai salah paham. Katanya, itu sebuah tafsir yang dipaksakan. Fakta banyaknya pernikahan siri dianggap masalah penyelewengan personal, bukan problem sosial.
Kesimpulannya: jangan berpoligami, karena itu tidak rasional dan dianggap asosial. Kesimpulan siapa? Anda lebih tahu dari saya.
Lalu, bagaimana dengan perselingkuhan dan jajan? Tempat banyak disediakan. Kesempatan mudah didapatkan. Hanya butuh sedikit uang. Tak perlu nafkah bulanan. Dosa? Itu barang yang tak kelihatan. Akhirat? Masih lama pertanggungjawabannya. Bisa tobat sebelum ajal tiba, katanya. Naudzubillah.
Memang agak aneh! Atau malah aneh banget. Poligami dipersulit. Bahkan setengah dilarang dengan dalih “monogami terbuka”. Tapi, prostitusi dilokalisasi. Lebih terhormat mana hayo…..?
Sementara soal UU poligami? Tak ada anggota legislatif yang berani angkat bicara. Parpol Islam konsisten dalam diam. Bahasa agamanya “istiqamah”. Takut jadi musuh bersama. Khawatir ditinggalin konstituennya. Intinya: karir politik bisa terancam. Masuk akal!.
Perzinahan dibahas dalam rancangan undang-undang, soal pelaku dan hukumannya. Sementara, lokalisasi sering dianggap solusi, bukan poligami. Karena itu, poligami harus diabaikan. Terlalu berisiko jika dibicarakan. Apalagi dijalankan. Terutama risiko politik. Begitulah kira-kira jalan pikiran dan rasio politiknya.
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/29013/Poligami-dan-Dialektika-Politik/