Soal Kelola Sampah, Kemendagri Jabarkan Keuntungan Ekonomi Sirkular

Soal Kelola Sampah, Kemendagri Jabarkan Keuntungan Ekonomi Sirkular

JawaPos.com – Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Bina Adwil Kemendagri) mendorong percepatan penerapan ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah di seluruh Indonesia. Dirjen Bina Adwil Kemendagri Safrizal ZA dalam keterangan resminya mengatakan, sampah medis saat ini menjadi masalah baru sejak pandemi Covid-19 merebak.

“Ini sering diabaikan. Padahal, keberadaan sampah medis memerlukan perhatian dan penyelesaiaan bersama,” ujar Safrizal dalam diskusi di Indonesia International Waste Expo (IIWAS), Badung, Bali, pada Senin (18/4).

IIWAS yang dihelat pada 17-20 April sendiri merupakan bagian dari program pemerintah untuk mengurangi sampah plastik hingga 30 persen pada tahun 2025. Selain itu, juga menangani 70 persen sampah lainnya melalui gerakan reduce, reuse, dan recycle (3R), serta bertepatan dengan rencana KTT G20 yang akan digelar di Bali.

“Kami mencoba menampilkan contoh solusi ekonomi sirkular untuk memulihkan perekonomian dan menjaga lingkungan secara bersama-sama. Konsep ekonomi sirkular berpedoman pada prinsip utama mengurangi sampah dan memaksimalkan sumber daya yang ada dengan stakeholder, mulai dari pemerintah, swasta, akademisi, hingga pemangku kepentingan lainnya,” ujar Safrizal.

Untuk diketahui, ekonomi sirkular merupakan model industri baru yang berfokus pada reducing, reusing, dan recycling, yang mengarah pada pengurangan konsumsi sumber daya primer dan produksi limbah. Menurut Safrizal, ekonomi sirkular sudah diperkenal sejak tahun 2009, tapi baru dikenal luas di Indonesia pada 2018-2019.

“Yang paling penting adalah pengelolaan sampah dengan mengedepankan pemilahan sampah dari sumbernya. Masyarakat dan harus ada perubahan perilaku konsumen untuk meningkatkan pengunaan kembali dan menghindari membuang sampah sembarangan,” paparnya.

Ia mengklaim, ekonomi sirkular mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hijau yang lebih tinggi dibandingkan skenario business as usual. Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai itu antaralain dengan merancang sistem produksi yang membutuhkan lebih sedikit sumber daya, memastikan bahan mentah yang diekstrasi dan digunakan selama mungkin, serta menggunakan produk dan layanan dengan lebih efisien.

“Ekonomi sirkular dapat dikatakan sebagai salah satu kendaraan yang dapat mendukung pencapaian dalam tujuan pembangunan berkelanjutan. Juga dapat menjadi penggerak menuju transpormasi ekonomi, khususnya mendukung strategi ekonomi hijau dan pembangunan rendah karbon,” tegas Safrizal.

Ia melanjutkan, setidaknya ada tiga keuntungan penerapan ekonomi sirkular. Pertama, berpotensi menghasilkan tambahan PDB sebesar Rp 593-638 triliun pada tahun 2020. “Dampak langsungnya akan terjadi pada lima sektor, yakni makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, perdagangan grosir dan eceran, serta peralatan listrik dan elektronik,” ujarnya.

Kedua, mengurangi limbah sebesar 18-52 persen, mengurangi emisi CO2 sebesar 126 juta ton, dan penggunaan air sebesar 6,3 miliar kubik pada tahun 2030.  Ketiga, Indonesia akan mendapatkan keuntungan sosial dalam bentuk terciptanya lapangan pekerjaan sebanyak 4,4 juta pada tahun 2030.

Namun di sisi lain, lanjut Safrizal, penerapan ekonomi sirkular akan menghadapi berbagai tantangan. Pertama, kemungkinan terganggunya kenyaman konsumen, terutama mereka yang terbiasa menggunakan kemasan plastik.

Kedua, kurangnya fasilitas pendukung untuk pengelolaan sampah. Ketiga, kurangnya teknologi daur ulang, dan terakhir peraturan daerah yang belum selaras dengan konsep ekonomi sirkular.

“Forum ini (IIWAS) juga bertujuan agar semua pihak bisa menemukan letak penting dan urgensi dari ekonomi sirkular. Maka, hal ini akan sangat terbantu jika adanya regulasi yang tegas dengan batasan yang jelas untuk memulai perubahan,” terangnya.

Safrizal mengatakan, pihaknya telah menyiapkan kebijakan pendukung ekonomi sirkular, seperti rencana aksi, pedoman, dan pengaktifan kemitraan lintas sektor. Semua itu memerlukan kerja sama dari pelaku usaha sebagai implementator dan akademisi untuk pengembangan teknologi dan inovasi.

“Yang tak kalah penting, masyarakat dapat melakukan perubahan perilaku sehari-hari menjadi perilaku yang lebih mendukung keberlanjutan. Juga mendukung berbagai produk ramah lingkungan,” pungkasnya.


Credit: Source link

Related Articles