DENPASAR, BALIPOST.com – Tidak hanya pelaku usaha di bidang pariwisata, properti juga mengkhawatirkan jika restrukturisasi kredit yang berakhir Maret 2023 tak diperpanjang lagi. Hal ini lantaran usaha yang mulai berjalan di masa transisi ini belum mendatangkan profit bagi pengusaha sehingga membayar angsuran kredit belum mampu. Demikian disampaikan Ketua Real Estate Indonesia (REI) Bali, I Gede Suardita, Selasa (3/5).
“BI sudah merilis laporan perekonomian triwulan I.
Pertumbuhan ekonomi Bali masih minus yaitu -1,2 persen, meski minusnya lebih baik. Jika restrukturisasi kredit karena pandemi COVID tidak
diperpanjang atau tidak ada regulasi khusus untuk Bali, akan terjadi masalah besar,” ungkapnya.
Penggelembungan angsuran atau bunga kredit yang
direstrukturisasi baik berupa penundaan pembayaran,
penurunan bunga kredit dan cuti bayar, akan berbahaya tidak hanya bagi pengusaha tapi juga bagi perbankan. “Akan terjadi gagal bayar besar-besaran,” ujarnya.
Ia berharap selain pengusaha yang terus berinovasi
mengembangkan usaha agar mampu membayar kredit, regulator juga diharapkan mengeluarkan kebijakan yang prodebitur. Misalnya, bunga selama COVID dihapuskan, sehingga seolah-olah debitur lahir kembali seperti sebelum COVID dan akhirnya kreditnya berjalan normal lagi.
Kedua, penggelembungan bunga selama COVID bisa diangsur selama sekian tahun mengingat pariwisata Bali tidak serta merta langsung bangkit satu tahun ke depan. “Perlu waktu sekitar lima tahunan untuk bangkit dengan catatan COVID berubah status
dari pandemi jadi endemi, dan berharap seperti normal dulu. Karena tidak bisa serta merta pengusaha ditagih pembayaran penggelembungan bunganya begitu COVID berakhir, tidak bisa seperti itu,” ujarnya.
Selain dua opsi itu, ia juga berharap penghapusan bunga selama pandemi COVID. Apalagi fenomena baru yang terjadi adalah mulai dibebankan kenaikan bunga oleh pihak perbankan padahal program restrukturisasi berakhir. (Citta Maya/balipost)
Credit: Source link