Reksa dana bisa menjadi alternatif instrumen investasi pada sisa akhir tahun ini. Kondisi makroekonomi dan kinerja pasar modal Indonesia yang bagus meningkatkan imbal hasil reksa dana yang cukup menjanjikan.
—
WEALTH Management Head OCBC NISP Juky Mariska menuturkan, tidak banyak terjadi perubahan perilaku penempatan investasi dari nasabah bisnis wealth management sepanjang pandemi Covid-19 berlangsung. Produk obligasi dan reksa dana menjadi mayoritas pilihan nasabah.
Memasuki semester II 2022, nasabah lebih nyaman berinvestasi di obligasi. Sejalan dengan kondisi kebijakan moneter secara global maupun domestik. ”Dengan kepastian suku bunga The Fed dan suku bunga Bank Indonesia (BI), para nasabah sudah mulai boleh lagi untuk consider (mempertimbangkan) obligasi,” kata Juky dalam Coffee Chit-chat OCBC NISP, Rabu (7/9).
Untuk reksa dana, pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) terbilang tinggi sejak Mei 2022. Hingga perdagangan Jumat (9/9), IHSG ditutup di level 7.242,66. Sejak awal tahun sudah naik 8,66 persen.
Juky menilai, para investor yang berorientasi jangka panjang layak mempertimbangkan reksa dana. Tentunya harus memperhatikan kebijakan pemerintah dan proyeksi perekonomian ke depan. Mengingat, harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi naik, inflasi tinggi, dan BI sudah mengerek suku bunga acuannya.
”Sebenarnya, di mata investor asing dan ekonom, ini bukan angka yang jelek. Secara fiskal, seharusnya mendukung pergerakan (positif) IHSG. Untuk nasabah yang mau berinvestasi jangka panjang di reksa dana, tahun depan seharusnya cukup bagus,” tuturnya.
Sementara itu, Certified Financial Planner Finansialku Gembong Suwito menambahkan, performa reksa dana yang bagus didorong pertumbuhan IHSG yang juga cukup bagus. Itu sejalan dengan kondisi makroekonomi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih terjaga positif. Yakni, 5,44 persen YoY.
Jika dibandingkan dengan negara lain, terutama negara maju seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan kawasan Eropa yang inflasinya tinggi, Indonesia lebih baik. Efeknya, aliran dana investor asing yang masuk ke dalam negeri semakin besar. Secara year-to-date (YtD), sudah masuk Rp 71 triliun. ’’Ini salah satu rekor terbesar selama lima tahun ke belakang,” jelasnya saat dihubungi Jawa Pos, Jumat (9/9).
Investor asing begitu masuk ke dalam negeri tentu menyasar saham-saham blue chip. Misalnya, BBCA, BBRI, dan Telkom (TLKM). ”Itulah kenapa tahun ini banyak yang merekomendasi reksa dana saham. Karena mengacu pada kinerja IHSG,” imbuhnya.
Gembong menjelaskan, tahun ini Indonesia diuntungkan dengan kenaikan harga batu bara dan crude palm oil (CPO). Mengingat, Indonesia merupakan negara penghasil komoditas tersebut. Hal itulah yang melatarbelakangi pemerintah mampu menyubsidi BBM dengan jumlah yang besar lantaran memiliki windfall profit dari tren harga dua komoditas itu.
Nah, pada 2023, Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah mewanti-wanti untuk hati-hati. Sebab, tahun depan diperkirakan tren harga komoditas energi turun. Maka, mau tidak mau, harga BBM dinaikkan. Kenaikan BBM tentu berimbas terhadap inflasi yang semakin tinggi. Inflasi Agustus 2022 berada di level 4,69 persen.
Kemungkinan inflasi bisa mendekati 6–7 persen pada akhir tahun hingga memasuki 2023. Ketika inflasi tinggi, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) harus naik. ”Dampaknya, perekonomian Indonesia (di 2023) tidak akan sebesar di 2022,” ujarnya.
Melihat dinamika perekonomian saat ini, pria asal Surabaya itu menyarankan agar instrumen investasi reksa dana yang dipilih menyesuaikan dengan tujuan keuangan calon investor. Jika sifatnya untuk dana darurat, bisa berinvestasi di pasar uang. Dengan potensi kenaikan suku bunga acuan BI, bisa membukukan return 3–5 persen dalam setahun.
Untuk reksa dana obligasi, dengan adanya sentimen kenaikan inflasi dan kenaikan suku bunga acuan BI, imbal hasil pada 2023 tidak akan sekencang tahun ini. Ekspektasinya berkisar 7–8 persen.
Jika memilih reksa dana campuran dan saham, calon investor harus punya target dalam setahun. ’’Karena kalau tidak (ditarget), tahun depan itu sifatnya fluktuatif sejalan dengan pernyataan Presiden Jokowi dan Menkeu Sri Mulyani. Masih gelap. Nah, kepastian perekonomiannya bisa dilihat pada kuartal I 2023 nanti. Intinya, tahun depan tidak akan menikmati pertumbuhan seperti tahun ini,” beber Gembong.
Yang harus diperhatikan, reksa dana saham langsung mengacu pada pergerakan IHSG seperti IDX 30 dan LQ45. Faktor utamanya adalah aliran dana masuk investor asing dan kondisi makroekonomi. Tapi, reksa dana yang aktif dikelola manajemen investasi (MI) bisa menjadi pilihan. ”Bergantung strategi masing-masing MI dengan pemilihan saham dan sektor yang tepat. Targetnya berkisar 10–12 persen,” tegasnya.
REKOMENDASI REKSA DANA
Reksa Dana Pasar Uang
– Sucorinvest Money Market Fund, return 1 tahun: 4,73 persen
– Sucorinvest Sharia Money Market Fund, return 1 tahun: 4,29 persen
– Majoris Pasar Uang Syariah Indonesia, return 1 tahun: 3,98 persen
Reksa Dana Obligasi
– Sucorinvest Stable Fund, return 1 tahun: 6,86 persen
– Danamas Stabil, return 1 tahun: 5,31 persen
– TRIM Dana Tetap 2, return 1 tahun: 4,11 persen
Reksa Dana Saham
– Sucorinvest Equity Fund, return 1 tahun: 35,19 persen
– Sucorinvest Maxi Fund, return 1 tahun: 27,5 persen
– BNP Paribas SRI KEHATI, return 1 tahun: 27,01 persen
Sumber: Bibit.id
Credit: Source link