Generasi Muda dan Aplikasi Jadi Duta Batik di Tengah Arus Zaman

Generasi Muda dan Aplikasi Jadi Duta Batik di Tengah Arus Zaman

Kini Semakin Luwes, Padu Padan Jadi Lebih Mudah

Batik itu formal. Batik itu kuno. Batik itu bikin kelihatan tua. Eits, siapa bilang. Sejak 2 Oktober 2009, pamor batik kian naik. Kesan formal, kuno, dan tua perlahan menguap. Dengan berbagai kreasi, anak masa kini mampu tampil trendi dalam balutan batik.

NAMANYA Swara Gembira. Sejak 2017, komunitas anak-anak muda penyuka batik itu gencar meremajakan pemakai kain tradisional tersebut. ’’Tujuan kami adalah mengindonesiakan anak muda,” ujar Vianka Svetlana, pegiat Swara Gembira, saat Jawa Pos temui di M Bloc, Jakarta, pada Rabu (28/9).

Dia mengatakan, diakui atau tidak, ada stereotipe yang tidak pas tentang batik di kalangan anak muda. Dan, kecenderungan itu juga terjadi pada hampir semua produk kain Nusantara. Anak-anak muda merasa berjarak dengan tradisi memakai kain. Pada benak mereka, berkain adalah urusan orang tua, tidak ada hubungannya dengan mereka. Apalagi, memakai batik itu biasanya butuh effort lebih. Ribet.

Menangkap berbagai persepsi yang tidak tepat itu, Swara Gembira pun hadir sebagai jembatan yang menghubungkan generasi muda dengan generasi sebelumnya. Tentu tidak sebatas mengimbau atau menyerukan. Namun, menawarkan sentuhan-sentuhan baru dalam batik. Kain-kain tradisional yang mereka usung punya desain dan motif yang pas dengan anak muda. Bahkan, pemakaiannya juga tidak sulit, sesuai karakter anak zaman now yang maunya serbapraktis.

’’Bisa dipakai sehari-hari,” ucap Vianka. Hari itu, perempuan yang menjabat brand director Pasar Wastra tersebut memakai kain yang dia fungsikan sebagai rok. Padanannya? Atasan dan sepatu kasual. ’’Jadi gak masalah kain pakai atasannya kaus, pakai sepatunya sneakers,” terangnya. Yang penting, imbuh dia, kombinasinya harus pas.

Swara Gembira yang kini berumur lima tahun sudah berkembang dengan sangat pesat. Saat ini, Swara Gembira punya tiga subkomunitas. Yakni, Pasar Wastra, Kain Gembira, dan Remaja Nusantara. Ketiganya lahir dari proses dialektika organisasi untuk mengefektifkan kampanye generasi muda cinta kain.

Pasar Wastra, menurut Vianka, lahir setelah anak-anak muda yang peduli pada kelestarian kain Nusantara bertanya-tanya tentang lokasi pembelian batik. ’’Ya udah kita kasih wadah aja,” ungkapnya.

Pasar Wastra pun lantas hadir sebagai jujukan para pemburu batik. Seperti namanya, pasar itu juga menjadi ajang pertemuan penjual dan pembeli. Maka, selain membuka stan jualan, para produsen batik menggunakan kesempatan itu untuk memamerkan kain-kain mereka.

Selain Pasar Wastra, Swara Gembira punya subkomunitas Kain Gembira. Gagasan itu muncul dari keinginan yang sangat kuat untuk melestarikan tradisi sekaligus mempertahankan kualitasnya. Kain Gembira bertugas memproduksi kain-kain batik yang dinilai cocok dengan selera pasar.

Sementara itu, Remaja Nusantara dibentuk sebagai ekosistem sekaligus ajang pamer gaya padu padan terbaru. ’’Karena kalau hanya kampanye berkain tapi gak punya orang-orang yang mencontohkannya, ya susah juga,” urai Vianka.

Berbeda dengan gerakan budaya lainnya yang kerap membuat acara di museum atau rumah-rumah budaya, Swara Gembira justru mendekati tongkrongan anak muda. Seperti M Bloc atau SCBD. ’’Kita datengin. Biar relevan,” jelasnya.

Dengan semangat yang sama dengan Swara Gembira, Puspita Ayu Permatasari pun tak pernah kendur mengampanyekan batik. Bukan di Indonesia, melainkan di Eropa. Perempuan yang baru saja menamatkan studi S-3 di University of Paris 1 Pantheon-Sorbonne itu identik dengan batik. Dia pula yang menggagas lahirnya aplikasi iWareBatik.

DINAMIS: Untuk memikat kaum muda, Swara Bahagia sengaja mengusung kain-kain batik berwarna cerah dengan motif yang sederhana. (SALMAN TOYIBI/JAWA POS)

Bukan sekadar fashion atau bahan sandang, kain batik juga bagian dari identitas bangsa. Corak batik di setiap daerah, menurut Ayu, biasanya merefleksikan kultur dan budaya masing-masing. ’’Jadi, orang Indonesia bisa cerita banyak hal lewat batik,” ungkap dosen Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti (STPT) Jakarta tersebut.

Ayu menambahkan, para leluhur yang menciptakan batik selalu menyematkan pesan dalam setiap motif ciptaan mereka. Ada motif untuk mencerminkan kesembuhan, kesuksesan, keteladanan, kepemimpinan, dan cinta. Berbagai cerita dan sejarah dari tiap motif batik diulas dalam iWareBatik. Saat ini, aplikasi itu sudah dikunjungi 140 ribu user internet dan diunduh lebih dari 4.000 kali.

Lebih dari itu, diplomasi Ayu sebagai duta batik di Benua Biru berkontribusi bagus terhadap popularitas batik. Dalam kesehariannya, dia selalu menyelipkan batik dalam penampilannya. Jika bukan bawahan atau atasan, batik hadir dalam bentuk syal, tas, atau dompet. ’’Batik sangat diapresiasi di sini. Itu terlihat dari pandangan mata mereka,” tegasnya.


Credit: Source link

Related Articles