Terkait hal itu, Prof. Ngurah Mahardika, Ahli Virologi Universitas Udayana-yang mengetahui betul seluk beluk pembuatan vaksin dari awal-mengatakan, zaman dahulu tentu harus dapat agennya dulu yang murni. Setelah itu diperbanyak, dan kemudian baru disiapkan sebagai vaksin. Itu menempuh waktu yang lama.
“Zaman sekarang, teknologi telah memungkinkan kita melakukannya dengan cepat. Tidak perlu lagi agen penyakit dan bisa dibuat sintetis, jadi bisa sangat cepat. Zaman dahulu perlu waktu lama untuk menemukan bibitnya saja. Zaman sekarang hanya perlu waktu satu dua bulan saja untuk menemukan bibitnya,” ujarnya dikutip dari kanal YouTube FMB9, Selasa (3/11/2020).
Lebih lanjut Prof. Ngurah Mahardika menyebutkan ada sedikitnya empat ragam vaksin yang dibedakan berdasarkan bahan dasarnya. Pertama yang berbasis virus murni yang dimatikan sehingga tidak berbahaya bagi manusia.
“Ada pula yang berbasis DNA atau mRNA, ketiga ada vaksin berbasis adenovirus, dan terakhir adalah vaksin berbasis protein,” jelasnya.
Menurut Prof. Ngurah Mahardika, ragam basis vaksin ini punya kelebihan dan kekurangan tentunya. Seperti vaksin berbasis virus yang dimatikan yang saat ini diujicobakan di Indonesia adalah jenis paling lazim, sehingga regulasi penggunaanya jauh lebih ringkas.
“Sementara vaksin berbasis DNA dan adenovirus memang belum ada contohnya yang beredar di masyarakat sehingga regulasinya memakan waktu lama,” terang Prof. Ngurah Mahardika.
Meskipun teknologi mengakselerasi penemuan vaksin baru, faktor kunci yang tidak boleh dikesampingkan dalam prosedur adalah, memastikan tingkat keamanannya. Pada dasarnya peneliti dan pengembang vaksin tidak mengkompromikan aspek kualitas, daya guna, dan keamanannya, termasuk keamanan vaksin COVID-19 yang nanti hendak ditemukan, harus terjamin.
“Untuk aspek keamanan ini dimulai sejak fase pre klinis, yang diujikan pada hewan, lalu Fase I yang melibatkan relawan manusia, Fase II yang melibatkan ratusan relawan, dan Fase III yang melibatkan ribuan relawan. Pada semua fase, aspek keamanan dan daya guna menjadi perhatian serius. Lebih-lebih pada Fase III, ketika melibatkan ribuan hingga puluhan ribu orang,” jelas Prof. Ngurah Mahardika.
Tidak sampai di situ saja, setelah beredar di masyarakat vaksin akan terus dimonitor dan diaduit terus menerus untuk memastikan keamanan vaksin yang beredar tersebut nantinya. Perlu diketahui juga, bahwa Indonesia sangat memungkinkan untuk mengembangkan vaksin COVID-19 secara mandiri.
Namun kerjasama dalam masa Pandemi COVID-19 seperti saat ini bukanlah hal yang tabu. Kerjasama bertujuan untuk mendapatkan data berkualitas tinggi. Peneliti dan ilmuan di Indonesia juga membuka data-data kajian dalam negeri untuk memberi sumbangsih kepada keilmuan dunia dan menerima input positif dari peneliti luar negeri.
“Tanpa kerja sama saya kira kita mampu, tapi untuk mencapai kemajuan yang pesat dirasa perlu dengan jalan kerjasama antar Negara dan keilmuan dunia,” pungkas Prof. Ngurah Mahardika.
Sementara itu, selain kabar bahwa vaksin yang bisa ditemukan lebih cepat, kabar baik lain datang dari angka kesembuhan COVID-19 per 1 November 2020 terus meningkat. Rasio kesembuhan (recovery rate) dari seluruh total kasus Covid-19 mencapai 82,84 persen. Angka sembuh dan selesai dari isolasi meningkat dari minggu sebelumnya yakni 80,51persen.
Kemudian tracing dan testing per 1 November 2020 mencapai lebih dari 4,5 juta spesimen dan banyak di antaranya yang negatif.
Sementara itu, Juru Bicara Satgas COVID-19, Reisa Broto Asmoro mengingatkan semua pihak untuk terus menerapkan protokol kesehatan 3M. Yakni, memakai masker, menjaga jarak minimal 1 meter, dan mencuci tangan dengan sabun, tetap merupakan cara pencegahan yang terbaik hingga saat ini.
“Kita perlu untuk terus disiplin mempraktekkan langkah 3M ini secara sepaket agar terhindar dari penyakit,” pungkasnya. (dai)
Credit: Source link