JAKARTA, BALIPOST.com – Akses internet menjadi bagian dari hak asasi manusia sehingga harus dipenuhi dengan baik oleh pemangku kepentingan. Hal itu dikatakan anggota Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Heru Sutadi, dikutip dari Kantor Berita Antara, Selasa (21/2).
“Yang jelas, secara internasional, akses internet itu menjadi bagian dari hak asasi manusia yang harus dipenuhi, baik di kota maupun di wilayah desa. Ini hak asasi manusia dan telah dinyatakan oleh lembaga PBB, yaitu International Telecommunication Union,” kata Heru dalam diskusi “Memetakan Tantangan Infrastruktur Digital Indonesia” di Jakarta.
Semenjak pandemi COVID-19, teknologi dan akses internet memberikan peranan penting sehingga masyarakat dapat tetap bergerak melakukan berbagai kegiatan meski hanya dari rumah.
“Kita bisa mengerjakan pekerjaan dari rumah, belajar dari rumah. Bayangkan yang tidak tersentuh ini, banyak yang sekolah ke atas gunung untuk mencari sinyal, sementara kalau ke sekolah khawatir terinfeksi COVID-19,” ujar Heru.
Heru memaparkan bahwa menurut laporan terbaru We Are Social dan Meltwater berjudul “Digital 2023”, jumlah pengguna internet di Indonesia tercatat sudah mencapai 212,9 juta per Januari 2023. Angka tersebut naik sekitar 5 persen atau 10 juta pengguna dari tahun sebelumnya.
Masyarakat Indonesia lebih banyak menghabiskan waktu dengan berinternet daripada menonton TV, berdasarkan survei itu. Terbukti bahwa berdasarkan data, rata-rata pengguna internet Indonesia mengakses internet selama 7 jam 42 menit per hari, sedangkan waktu yang dihabiskan untuk menonton TV hanya 2 jam 53 menit per hari.
“Dan yang menariknya, kita bisa lihat bahwa masyarakat Indonesia yang dalam berinternet mereka mencari informasi, itu sebesar 83 persen. Kemudian mencari ide, inspirasi dan berkoneksi dengan keluarga atau teman,” kata Heru menjelaskan.
Teknologi dan akses internet juga sangat penting untuk perekonomian Indonesia saat ini. Sebagai contoh, tren berbelanja online berhasil membuat roda ekonomi Indonesia tetap bergerak.
Melihat fenomena itu, menurut Heru, transformasi digital merupakan sebuah keharusan. “Meski pandemi ini selesai, tapi, kita hampir setiap saat mendengar ada varian-varian baru atau misalnya nanti ada virus baru. Kalau kita tidak menyiapkan ini (transformasi digital), saya khawatir ekonomi Indonesia akan berantakan, apalagi kita punya target yang cukup besar terutama di tahun 2045,” katanya.
Saat ini masih ada sekitar 12 ribu desa di Indonesia yang belum memiliki akses ke internet sehingga, Heru mengatakan, hal utama yang harus segera dilakukan adalah percepatan perluasan akses dan peningkatan infrastruktur digital serta penyediaan layanan internet.
Dalam hal transformasi digital, Heru menilai bahwa Indonesia terbilang beruntung sebab masyarakatnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap sesuatu yang baru.
“Indonesia negara beruntung karena masyarakatnya kepo (ingin tahu). Ada TikTok, pakai TikTok. Ada WhatsApp, pakai WhatsApp, dari yang muda sampai tua. Tidak mengherankan kalau ojek online dan e-commerce-nya di sini berkembang. Pengguna ponsel saja sudah 370 juta,” kata Heru.
Heru berharap bahwa seluruh pemangku kepentingan dapat saling bekerja sama, termasuk dalam hal regulasi yang dikeluarkan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Regulasi itu diharapkan mendukung aspek ketersediaan, keterjangkauan, kualitas dan keamanan sehingga transformasi digital bisa berjalan maksimal.
“Rakyat Indonesia juga semuanya merasakan bahwa mereka dapat kemudahan mencari informasi, berdagang, jadi kreator konten dan sebagainya,” kata Heru. (Kmb/Balipost)
Credit: Source link