Ilustrasi Kekerasan Wartawan
Jakarta, Jurnas.com – Masyarakat yang miliki sengketa pemberitaan dengan media massa harus menyelesaikannya sesuai dengan mekanisme yang diatur oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers, jangan malah mengancam dan intimidasi.
Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) mengatakan, setiap pengaduan terhadap media bisa disampaikan pada redaksi untuk peroleh hak jawab dan koreksi.
Ketua Umum AMSI Wenseslaus Manggut mengatakan, warga bisa mengadu ke Dewan Pers untuk dicarikan solusi melalui mediasi jika dinilai belum memuaskan.
Sesuai peraturan perundang-undangan, Dewan Pers adalah lembaga negara yang berhak memberikan penilaian atas ada tidaknya pelanggaran kode etik jurnalistik serta memberikan sanksi pada media massa.
“Imbauan ini menjadi penting karena sejak Selasa 26 Mei 2020 terjadi kasus kekerasan terhadap wartawan Detikcom yang menulis berita terkait Presiden Joko Widodo. Korban mengalami intimidasi, doxing, teror, bahkan diancam akan dibunuh,” kata Wenseslaus, Kamis (28/5/2020).
Kasus kekerasan ini bermula setelah Detikcom menurunkan berita tentang rencana Presiden Joko Widodo membuka mal di Bekasi, Jawa Barat, di tengah pandemi Covid-19. Informasi itu berdasarkan pernyataan Kasubbag Publikasi Eksternal Humas Setda Kota Bekasi.
Belakangan berita itu dikoreksi karena ada ralat dari Kabag Humas Pemkot Bekasi, yang menyebutkan Jokowi hanya meninjau sarana publik dalam rangka persiapan new normal setelah PSBB.
Setelah koreksi itu dipublikasikan, kekerasan terhadap jurnalis Detikcom mulai terjadi. Identitas pribadi jurnalis itu dibongkar dan dipublikasikan di media sosial, termasuk nomor telepon dan alamat rumahnya. Jejak digitalnya diumbar dan dicari-cari kesalahannya.
Dia juga menerima ancaman pembunuhan melalui pesan WhatsApp. Serangan serupa ditujukan pada redaksi media Detikcom. Hal ini jelas mencederai kemerdekaan pers dan bertentangan dengan amanat Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
“Pers tentu tidak alpa dari kesalahan. UU Pers dibuat untuk memastikan koreksi bisa dilakukan, dengan tetap menjunjung perlindungan terhadap kebebasan pers. Kesalahan jurnalistik tidak boleh berujung pada kekerasan atau pemidanaan terhadap wartawan,” kata Wens, sapaan akrabnya.
Dengan kebebasan pers yang kokoh, publik diuntungkan oleh adanya mekanisme check and balances untuk memastikan akuntabilitas pemerintah melayani kepentingan warga. Menyerang pers dan mengintimidasi wartawan hanya akan mencederai ekosistem informasi yang kredibel dan bebas, serta merusak demokrasi, katanya.
Untuk itu, Pengurus Pusat AMSI menyatakan tiga sikap sebagai berikut:
Pertama, mendesak pejabat pemerintah atau warga negara yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa untuk menggunakan mekanisme penyelesaian yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Caranya dengan mengirimkan permintaan hak jawab maupun koreksi ke media terkait, lalu jika tidak mendapat respon yang diharapkan, baru mengadukan masalahnya ke Dewan Pers. Sejak era reformasi 1998, inilah mekanisme yang disepakati secara hukum untuk menyelesaikan sengketa pers tanpa mengganggu independensi media maupun kebebasan pers.
Kedua, mengkritik keras perisakan dan intimidasi siber (terutama praktek doxing atau membuka informasi pribadi) yang dilakukan para buzzer maupun warganet yang berpotensi merusak kebebasan pers dan demokrasi di negeri ini. Tanpa pers yang bebas dan jurnalisme yang berkualitas, informasi yang beredar di masyarakat akan mudah disetir oleh pihak-pihak tertentu dengan berbagai kepentingan politik maupun ekonomi.
Ketiga, meminta aparat penegak hukum segera mengusut dugaan pelanggaran pidana berupa kekerasan siber (perisakan online dan doxing), maupun ancaman pembunuhan terhadap jurnalis, hingga pelakunya diadili di pengadilan.
TAGS : AMSI Doxing Jurnalis Intimidasi
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin