DENPASAR, BALIPOST.com – Pertanian modern menjadi salah satu solusi untuk kembali menggairahkan sektor pertanian. Namun, pertanian modern tak mudah dilakukan karena pengolah lahan pertanian lebih banyak dilakukan petani lansia di lahan yang sempit. Cara terbaik adalah lewat Urban Farming dan Smart Farming
Pakar pertanian Prof. Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc., M.MA., Selasa (25/9) mengatakan, pertanian khususnya pada subsektor tanaman pangan belum banyak diminati oleh generasi muda karena pendapatan dari usahataninya belum sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan termasuk tenaga kerjanya. Generasi muda selalu memperhitungkan profit yang tinggi dari kegiatan berproduksi dengan cara meningkatkan efisiensi biaya dan meningkatkan produktivitas serta kualitas.
Pada usahatani tanaman pangan membutuhkan areal sawah yang relatif luas, misalnya 1 ha. Namun, fakta di lapangan menunjukan bahwa rata-rata penguasaan lahan sawah petani di Bali adalah 0,35 ha sehingga usahataninya menjadi tidak efisien. Akibatnya, tingkat pendapatan mereka menjadi relatif rendah.
Menurut Rektor Dwijendra University ini, bagi generasi milenial, usahatani yang dapat ditekuni adalah urban farming yang dapat dikelola menggunakan teknologi budi daya pertanian yang lebih tinggi. Periode panennya lebih pendek yang disertai dengan tingkat harga lebih layak dibandingkan tanaman pangan seperti padi.
Ketua Komunitas Petani Muda Keren (PMK) A.A. Gede Wedhatama mengatakan, pertanian modern tidak sulit diterapkan yang penting ada kemauan dari petani untuk melakukan itu. Percepatan pertanian modern dapat dilakukan dengan memberikan stimulus pada petani yang ada saat ini, karena petani tidak hanya perlu edukasi tapi juga praktik langsung di lapangan. “Namun banyak terjadi petani dipaksa mandiri untuk melompat menggunakan teknologi ini. Mungkin ada yang bisa tapi tidak banyak,” ujarnya.
Menurutnya pemerintah harus memberikan support stimulasi karena ia melihat tiga tahun terakhir, stimulus pertanian modern lebih banyak diberikan oleh stakeholder ke petani seperti Bank Indonesia, CSR perbankan. “Pemerintah tiga tahun ini sering mengundang saya sebagai pembicara, datang ke kebun kami tapi tidak melakukan apa–apa terkait penerapan smart farming,” ungkapnya.
Selain itu ia melihat program pemerintah setiap tahunnya itu–itu saja seperti berkutat seputar bibit dan pupuk. Sehingga terjebak pada cara– cara lama dan tidak ada pengembangan teknologi untuk pertanian.
Hal itu menurutnya yang membuat petani dan anak muda di banyak tempat belum merasakan impact dari smart farming.
“Kalau di tempat kami di Petani Muda Keren di beberapa tempat kami yang menerapkan sudah menjadi contoh sekarang. Tapi untuk menjadi gerakan yang massif dibutuhkan banyak tempat. Kenapa pemerintah tidak membuat program di masing–masing kecamatan, di masing–masing BPP (Balai Penyuluh Pertanian), dipasang smart farming,” bebernya.
Sedangkan yang terjadi saat ini adalah pemerintah belum mengerti smart farming namun mendorong petani untuk menerapkan smart farming. “Mereka belum mempraktikkan. Bagaimana PPL mau mengedukasi smart farming kalau PPL itu tidak paham, tidak pernah memasang smart farming. Jadi itu menjadi kendala yang saya lihat, karena petani-petani kita perlu stimulan, perlu role model dan yang kami lakukan bisa jadi percontohan tapi belum massif sehingga jadi lambat,” ujarnya.
Tanaman padi sangat membutuhkan teknologi drone salah satunya. Petani untuk menyemprot pupuk dan pestisida nabati, agen–agen hayati dengan cara manual membutuhkan waktu 6 jam, 4 orang dengan luas lahan 1 ha. Namun dengan drone petani dapat lebih efisien, cukup 2 jam untuk menyiram 1 ha lahan, bahkan lebih hemat tenaga kerja tambahan.
Begitu juga membajak sawah yang dulunya butuh waktu 1 minggu dengan smart farming bisa lebih cepat. Sementara padi di musim kemarau saat ini banyak petani mengeluh kesulitan air. Di komunitasnya yang menggunakan smart farming bahkan bisa terus menanam padi walaupun dalam kondisi el nino. “Karena air sebenarnya tidak ada kendala, yang penting ada sumber airnya. Lalu kita pakai sistem irigasi tetes, sebenarnya tidak ada kendala. Sementara sumber air masih ada di Bali, terlihat dari danau yang ada di Bali masih ada airnya. Masalah yang terjadi bukan tidak ada air tapi saluran airnya tidak ada karena dibangun bangunan seperti vila, hotel, dan sebagainya, banyak sawah alih fungsi akhirnya,” ungkapnya. (Sueca/Citta Maya/balipost)
Credit: Source link