JawaPos.com – Industri farmasi hingga saat ini masih menemui permasalahan serius, yakni kekurangan bahan baku, sehingga harus impor. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Muhammad Khayam menilai, ketergantungan industri farmasi di dalam negeri terhadap bahan baku impor tidak lepas dari status penanaman modal asing (PMA) perusahaan-perusahaan tersebut.
“Tingkat ketergantungan perusahaan farmasi PMA kepada induknya masih tinggi. Dari 24 perusahaan farmasi, hanya 4 perusahaan berstatus BUMN dan sisanya swasta nasional,” ujarnya dalam diskusi virtual, Jumat (6/11).
Sementara untuk membangun pabrik petrokimia di dalam negeri yang bisa memasok kebutuhan industri farmasi, secara keekonomian dinilai kurang feasible. Dari hitungan bisnis memang industri bahan baku kurang menarik karena kurang feasible kalau hanya memasok kebutuhan di dalam negeri.
“Lalu insentifnya juga dinilai belum mampu menarik investasi. Tapi nanti coba kita dorong Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) bahan baku obat ini agar bisa jadi menarik,” tuturnya.
Sementara, Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik BPOM, Reri Indriani mengakui setidaknya ada empat kendala pengembangan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) oleh industri farmasi nasional. Pertama, biaya penelitian dan pengembangan yang cukup besar.
Kedua, kendala sumber daya manusia yang mengerti pelaksanaan uji praklinik dan uji klinik sesuai standar BPOM. Ketiga, kendala standardisasi fasilitas laboratorium yang digunakan. Keempat, kendala kesulitan menemukan bahan baku pembanding obat herbal tertentu.
Ia menyebut, saat ini satgas BPOM tengah melakukan pendampingan uji klinik untuk 22 Obat Herbal Terstandar (OHT) dan 24 uji klinik Fitofarmaka. Untuk yang 22 OHT itu terkendala dari sisi rekrutmen uji subjek akibat pandemi Covid.
“Namun kami akan terus kawal sehingga bisa sesuai good clinical practice,” pungkasnya.
Editor : Estu Suryowati
Reporter : Romys Binekasri
Credit: Source link