JawaPos.com – Ketua Badan Anggaran DPR MH Said Abdullah mengatakan, usulan pemerintah untuk membuat desain APBN 2022 bisa maksimal sebagai absorber atas tekanan eksternal langsung disepakati.
Menurutnya, formulasi ini bertujuan untuk memberikan perlindungan maksimal terhadap segenap rakyat, khususnya terhadap kelompok rentan, yakni keluarga miskin.
“Namun dalam menjalankan fungsi absorber, prinsip APBN sehat tetap harus menjadi prinsip penting bagi tata kelola keuangan negara,” kata Said, dalam keterangan tertulisnya pada JawaPos.com, Kamis, (8/9).
Menghadapi tekanan eksternal berupa tingginya harga minyak dunia, tambahnya, pada 19 Mei 2022 Banggar DPR telah menyetujui usulan pemerintah untuk mengubah asumsi Indonesia Crude Price (ICP) yang semula dipatok USD 63 menjadi USD 100 per barel. Penyesuaian ini memberikan ruang gerak fiskal yang cukup bagi pemerintah.
“Karean itu, untuk merespons harga minyak dunia yang masih volatile tetapi di harga tinggi. Minyak jenis brent misalnya sepanjang Agustus sampai September 2022 di level USD 9105 per barel,” tukasnya.
Sebagai negara nett importir minyak, lanjut politikus PDIP itu, situasi ini tentu berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi di dalam negeri. Selama semester satu di 2022, realisasi lifting minyak bumi hanya mencapai 614,5 ribu barel per hari, dari target lifiting APBN 2022 sebesar 635 ribu-703 ribu barel per hari.
Selama rentang Januari – Agustus 2022 penggunaan pertalite telah mencapai 19,5 juta kilo liter, dari kuota 23 juta kilo liter. Terhadap penggunaan solar subsidi pada rentang waktu yang sama mencapai 11,4 juta kiloliter dari kuota 14,9 juta kiloliter. Adapun permintaan tinggi terhadap pertalite dan solar sejalan dengan makin membaiknya pemulihan ekonomi masyarakat.
“Ekonomi kita yang pulih ini wajib kita syukuri, tetapi ada risiko kebutuhan pertalite dan solar yang meningkat drastis,” tukasnya.
Akibatnya, kata Said, pemerintah menghadapi dua persoalan sekaligus yang harus diselesaikan, yakni tekanan harga karena tingginya harga BBM sekaligus membengkaknya kebutuhan pertalite dan solar karena permintaan yang naik. Sedangkan tingginya harga minyak dunia, karena sebagian besar kebutuhan minyak dari impor, pemerintah telah menaikkan harga BBM.
“Banggar DPR memberikan apresiasi atas langkah ini, sebab Banggar DPR sebenarnya sejak sebulan lalu telah mendorong agar mengubah tarif BBM,” ucapnya.
Terhadap kebutuhan penambahan kuota, pemerintah telah menambah kuota BBM bersubsidi. Untuk Pertalite dari semula 23 juta kiloliter menjadi 29 juta kiloliter, sedangkan untuk solar dari semula 14,9 juta kiloliter menjadi 17,4 juta kiloliter. Atas kebijakan ini maka berkonsekuensi penambahan anggaran subsidi dan kompensasi energi.
Atas langkah cepat pemerintah ini, maih kata Said, Banggar DPR memberikan apresiasi sebagai upaya pengamanan kebutuhan stok BBM, khususnya BBM bersubsidi untuk rakyat, karena hal ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun Banggar DPR mengharapkan pemerintah untuk mengambil langkah langkah strategis.
“Terakhir, banyak sekali wartawan yang melontarkan pertanyaan kepada saya, apakah penambahan anggaran subsidi dan kompensasi BBM ini telah mendapatkan persetujuan kepada DPR. Agar tidak menjawab satu per satu, perlu saya berikan penjelasan bahwa APBN 2022 masih terikat dengan kerangka UU No 2 Tahun 2020 tentang Perppu No 1 tahun 2020,” kata Said.
Adapun Perppu No 1 Tahun 2020 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan relokasi dan refocusing anggaran. Hal itu telah ditempuh oleh pemerintah melalui Program PEN sejak 2020. Relokasi dan refocusing anggaran cukup ditetapkan melalui Peraturan Presiden.
Sesuai Perppu No 1 tahun 2020, pemerintah berwenang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang dan jasa.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh UU itu, lanjutnya, maka pemerintah berhak menetapkan besaran belanja subsidi dan kompensasi BBM. Kondisi itu bakal berbeda dengan tahun depan, karena APBN 2023 tidak lagi terikat dengan UU No 2 Tahun 2020.
“Maka setiap melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN, yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia harus mendapatkan persetujuan DPR,” pungkasnya.
Credit: Source link