JAKARTA, BALIPOST.com – Perekonomian Indonesia diperkirakan melandai dari tahun 2022 dan tumbuh 4,8 persen dibanding periode sama tahun lalu (year-on-year/yoy) pada 2023 serta 5 persen (yoy) pada 2024. Kemungkinan tersebut diperkirakan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB), seiring melemahnya lonjakan komoditas dan mulai normalnya permintaan dalam negeri.
“Tekanan global pada 2023 diproyeksikan akan memangkas pertumbuhan ekspor, meskipun transaksi berjalan semestinya akan tetap mendekati seimbang,” ungkap Direktur ADB untuk Indonesia Jiro Tominaga dalam virtual webinar Asian Development Outlook April 2023 yang dipantau secara daring di Jakarta, dikutip dari kantor berita Antara, Selasa (4/4).
Ia menuturkan lonjakan komoditas ekspor mendorong pertumbuhan ekonomi Tanah Air hingga 5,3 persen (yoy) pada 2022, menggantikan permintaan dalam negeri yang lemah.
Namun karena pengeluaran rumah tangga merupakan bagian besar dari perekonomian Indonesia, kembali normalnya belanja konsumen dan berbagai manfaat dari penurunan inflasi akan menopang pertumbuhan. Meskipun demikian, investasi kemungkinan belum akan menguat karena dunia usaha masih melihat situasi.
Besarnya angka ekspor menghasilkan tambahan pendapatan yang memungkinkan Indonesia memangkas defisit anggaran hingga di bawah batas wajib 3 persen dari produk domestik bruto (PDB), setahun sebelum tenggat waktu.
Lebih lanjut, Jiro mengatakan inflasi Indonesia telah mencapai puncaknya hingga hampir 6 persen (yoy) pada September 2022, melebihi batas inflasi yang ditetapkan Bank Indonesia (BI) sebesar 4 persen (yoy).
Tetapi, inflasi sudah menurun berkat pelemahan harga komoditas dan pengetatan kebijakan moneter, serta diproyeksikan akan turun ke sekitar 3,5 persen (yoy) pada Desember 2023 dan mencapai rata-rata 4,2 persen pada keseluruhan tahun 2023.
Meski begitu, kata dia, yang menjadi perhatian untuk jangka menengah dan panjang yaitu hilangnya pendapatan para pekerja dan pembelajaran anak-anak selama pandemi COVID-19, yang dapat mengurangi potensi pertumbuhan.
“Sebagian besar indikator ketenagakerjaan penting telah membaik dibandingkan dengan angka-angka pada 2020, tetapi belum kembali ke tingkat sebelum pandemi. Berbagai indikator itu termasuk pengangguran, informalitas, dan upah riil,” ucap dia.
Menurut dia, sebuah langkah yang dapat memitigasi dampak buruk terhadap pasar tenaga kerja adalah Program Kartu Prakerja dari pemerintah yang memberikan keterampilan teknis dan kejuruan melalui pembelajaran digital, pelatihan untuk memulai usaha, dan beasiswa. (Kmb/Balipost)
Credit: Source link