JawaPos.com – Desakan agar RKUHP tidak disahkan menjadi undang-undang terus bergulir. Selain masih ada pasal-pasal bermasalah yang belum dihapus pemerintah dan DPR, dikhawatirkan RKUHP bernasib sama dengan UU lain yang ujung-ujungnya digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur mencontohkan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). UU itu digugat pimpinan KPK Nurul Ghufron ke MK belum lama ini.
Ghufron menggugat materi Pasal 29 huruf (e) UU KPK yang mengatur batas usia pimpinan KPK paling rendah 50 tahun.
Isnur juga mencontohkan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) yang digugat ke MK oleh Migrant Care dan beberapa pihak lain. Sebagian permohonan uji formil dalam gugatan itu dikabulkan MK pada November tahun lalu. MK menyatakan, pembentukan UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945 dan meminta untuk dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun.
Bukan hanya itu, UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) juga ramai-ramai digugat ke MK oleh banyak kalangan. Dari kalangan akademisi, ada nama Profesor Azyumardi Azra yang bergabung dengan Din Syamsuddin dan belasan orang lain. Salah satu yang dipersoalkan adalah pembentukan UU IKN yang tidak mengakomodasi partisipasi masyarakat.
Sederet UU yang berujung pada gugatan ke MK itu, kata Isnur, merupakan bukti bahwa pemerintah dan DPR cenderung tergesa-gesa dalam merumuskan, membahas, dan mengesahkan UU. Karena itu, pihaknya mendesak RKUHP tidak segera disahkan sebelum salah satu syarat formil pembentukan UU, yakni mengakomodasi partisipasi masyarakat, dilakukan.
”Apalagi ini (RKUHP) berdampak langsung pada masyarakat. Jangan sampai ketergesa-gesaan (membentuk UU, Red) itu baru mereka sadari ketika ada korban atau kesalahan yang muncul di kemudian hari,” ujar Isnur di sela kegiatan sosialisasi penolakan RKUHP bersama masyarakat sipil di kawasan Bundaran HI, Jakarta, kemarin (27/11).
Isnur menjelaskan, penolakan terhadap pasal RKUHP yang berpotensi menjadi pasal karet sudah berkali-kali disuarakan. Mulai pasal penghinaan presiden, living law, penghinaan lembaga negara dan pemerintah, contempt of court, kontrasepsi, hingga pasal yang mengatur tentang larangan penyebaran marxisme dan leninisme serta paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Suara-suara penolakan itu sampai saat ini belum digubris DPR dan pemerintah. Masukan agar ada pelibatan masyarakat, khususnya yang concern terhadap substansi pasal bermasalah, juga urung terlaksana dengan baik. ”Kami tidak melihat ada dialog (pembahasan RKUHP bersama masyarakat, Red) di DPR,” paparnya.
Berdasar pemetaan YLBHI, pasal-pasal yang dianggap berpotensi menjadi pasal karet tersebut sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat. Contohnya, pasal terkait living law (hukum yang hidup di tengah masyarakat) yang membuka celah kriminalisasi terhadap masyarakat yang tidak menuruti penguasa di daerah.
Yang paling berbahaya, kata Isnur, adalah pasal yang mengatur tentang penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara serta pemerintah. Pasal itu sangat subjektif dan bisa digunakan untuk mengkriminalisasi para pengkritik kekuasaan. ”Itu pasal antikritik karena masyarakat yang mengkritik dapat dituduh menghina dan berujung pidana,” ujarnya.
Selain itu, pasal terkait larangan penyebaran marxisme dan leninisme serta paham lain yang bertentangan dengan Pancasila rawan digunakan untuk membungkam oposisi dan masyarakat yang kritis. Bahkan, parahnya lagi, pasal itu bisa digunakan untuk mengekang kebebasan akademik. ”Pasal itu juga sangat subjektif,” imbuhnya.
Anggota Komisi III DPR Taufik Basari mengatakan, pihaknya sudah memperjuangkan aspirasi dan masukan masyarakat dalam pembahasan RKUHP. Menurut dia, sudah banyak yang berubah dalam draf yang disepakati dalam rapat komisi III pada 24 November lalu jika dibandingkan dengan draf RKUHP pada 2019.
Terkait pasal yang kontroversi, misalnya pasal penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara, Tobas –sapaan akrab Taufik Basari– mengatakan bahwa penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara adalah pasal delik aduan. Yang mengadukan penghinaan itu tidak bisa sembarang orang, tapi harus presiden langsung, menteri, atau kepala lembaga.
”Tentu presiden, menteri, dan lembaga negara tidak akan sembarangan melaporkan,” tegasnya. Politikus Partai Nasdem tersebut mengakui bahwa draf RKUHP yang sudah disepakati dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi UU itu masih memiliki sejumlah kekurangan. Yang pasti, lanjut Tobas, fraksinya sudah berupaya keras memperjuangkan aspirasi rakyat.
Jika RKUHP sudah disahkan menjadi UU dan masyarakat belum bisa menerima peraturan baru itu, mereka mempunyai hak untuk melakukan judicial review (JR) ke MK. ”Mengajukan judicial review adalah hak rakyat,” ungkapnya.
Editor : Ilham Safutra
Reporter : tyo/lum/c19/oni
Credit: Source link