JawaPos.com – Pemerintah menargetkan akan menyelesaikan tahapan vaksinasi Covid-19 pada gelombang awal hingga akhir Februari 2021, terutama untuk para tenaga kesehatan. Sasarannya yaitu untuk 1,4 juta tenaga kesehatan di seluruh Indonesia.
Namun, sejak 13 Januari pencanangan vaksinasi oleh Presiden Joko Widodo, baru 178 ribu nakes yang divaksinasi. Lalu, mungkinkah bisa terkejar hingga akhir Februari 2021?
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. Mohammad Adib Khumaidi mengakui hal itu sudah sempat dibahas oleh para dokter dan juga organisasi profesi. Namun, terlepas dari sosialisasi vaksinasi yang terus dilakukan oleh pemerintah pada nakes, dr. Adib mengungkapkan berbagai kendala di lapangan yang membuat vaksinasi agak tersendat.
Pertama yakni terlambatnya sosialisasi pada nakes. Kedua, masalah teknis dan masalah IT di lapangan juga sering menjadi kendala. Sehingga membuat para nakes kesulitan dan mengalami kendala saat registrasi.
“Saya diskusi itu dengan Kemenkes. Sejauh ini sudah 178 ribu nakes divaksinasi. Ini ada satu problem yang memang terjadi, sosialisasi bukan kurang tapi terlambat. Kemudian teknis IT, sangat mempengaruhi cakupan. Banyak juga kesulitan teman-teman di lapangan, kesulitan di registrasi,” paparnya kepada JawaPos.com, Selasa (26/1).
Karena itu, IDI smengusulkan pada Menteri Kesehatan (Menkes) untuk dibuat potong jalur atau shortcut agar dibuat lebih sederhana. Sehingga rantainya tak terlalu ketat, dan cakupan vaksinasi cepat terlaksana. Sehingga pelaksanaan vaksinasi bisa sesuai jadwal.
“Saya sampaikan ke pak Menteri, harus ada shortcut,” katanya.
Seperti apa teknisnya? Menurut dr. Adib, alurnya dimulai dari pendaftaran yang lebih sederhana. Jadi, para nakes bisa dikoordinir oleh fasilitas kesehatan agar bisa divaksinasi lebih efisien.
“Itu melalui pendaftaran yang dilakukan oleh faskes. Jadi sekarang nakes yang divaksin sudah dilakukan, melalui faskes. Umpamanya saya kerja di suatu RS, lalu RS itulah yang akan mendaftarkan siapa saja dokternya. Nanti tingal dikoordinasikan dengan jatah vaksin, tentunya kalau kita bicara jatah vaksin kan 2 dosis yaitu hari pertama dan ke 14,” jelasnya.
“Sistem itu sudah mulai berjalan, tapi ada satu segmen lagi yang masih kurang, apa? Yakni bagi para dokter atau nakes yang tak kerja di faskes. Nah, itu bagaimana kan,” ujarnya.
Baca Juga: Banyak Pemula Kejeblos Main Saham, DPR Minta BEI dan OJK Rajin Edukasi
Baca Juga: Pernyataan Nadiem Soal Polemik Jilbab Lukai Dunia Pendidikan
Apa maksudnya? Yakni seperti para dokter yang berpraktik di klinik atau klinik mandiri atau praktik pribadi. Kemudian para terapis-terapis yang ada di klinik-klinik mandiri.
“Seperti di klinik, di dokter pribadi, klinik mandiri. Ini kemudian kami mohon ke pak Menteri agar dikoordinir IDI cabang. Nah IDI cabang himpun anggotanya untuk dokter ya. Saya kira nanti IDI bisa dikoordinasikan untuk perhimpunan nakes yang lain,” jelasnya.
“Nah lalu diminta koordinasi dengan asosiasi profesi, nanti asosiasi tingkat cabang baik IDI cabang kemudian bisa menyampaikan daftar itu pada Dinkes, untuk kemudian didaftarkan. Nanti suntiknya di mana? Tinggal dikoordinasikan dalam satu sistem dengan faskes yang mana. Nah sistem semacam itu kan sebenernya bisa dibuat shortcut, lakukan upaya itu untuk tingkatkan cakupan vaksin,” papar dr. Adib.
Namun, dengan terlambatnya sosialisasi dan kendala teknis, mungkinkah target pelaksanaan cakupan vaksinasi pada 1,4 juta nakes molor? Menurut dr. Adib, jika alur shortcut tersebut diterapkan, pihaknya masih optimis cakupan akan terkejar.
“Ya kalau umpamanya ini bisa dijalankan dan respons teman-teman nakes ya saat ini sudah meningkat dengan banyaknya informasi yang diberikan. Banyaknya sosialisasi yang kami berikan. Dari organisasi profesi dan Kemenkes maka respons cakupan vaksin ini sudah meningkat, dibandingkan pada saat awal-awal,” papar dr. Adib.
“Saya berharap ini masih bisa optimis, tapi sekali lagi tolong dibuat sistem sesimple mungkin, tanpa birokrasi yang ketat, tapi tetap dalam satu proses sesuai SOP,” ungkapnya.
Sementara itu, menurut Pakar Kesehatan dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dr. Hermawan Saputra, pelaksanaan vaksinasi di lapangan secara jumlah SDM, Indonesia tak terlalu mengalami masalah di lapangan. Problemnya yakni karena adanya rantai pendingin yang masih terbatas dan ketersediaan vaksin itu sendiri karena Indonesia bukan negara produsen vaksin.
“Saya pikir bukan di SDM tapi didistribusi proses sampai transfer vaksin medium sampai pada cold chain dan juga support sistemnya. Jadi, kalau SDM di lapangan enggak masalah, yang jadi problem tuh ada pada rantai distribusi penyimpanan, dan juga kaitan dengan ketersediaan dosis itu sendiri,” tegas dr. Hermawan.
Diketahui, kurang lebih 27 ribu tenaga kesehatan yang ditunda vaksinasi Covid-19. Hal itu dikarenakan kondisi tenaga kesehatan yang masuk ke dalam pengecualian penerima vaksin Covid-19. Pengecualian tersebut dikarenakan tenaga kesehatan sedang dalam kondisi menyusui, penyintas Covid-19, dan paling banyak itu karena hipertensi yang pada waktu diukur tekanan darahnya lebih dari 140/90.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengeluhkan hal itu. Dia menyebutkan ada 11 persen tenaga kesehatan yang ditolak vaksinasi karena hipertensi. Sehingga cakupan nakes divaksinasi juga terkendala.
“Saya jadi stres juga tuh karena pas ukur tensi, tekanan darah dia (petugas kesehatan) tinggi. Entah dia deg-degan karena mau disuntik atau karena apa,” kata Menkes Budi pada webinar Pikiran Rakyat Media Network Suara Cimahi (PRMN SuCi), baru-baru ini.
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan dr. Siti Nadia Tarmidzi optimis vaksinasi untuk nakes hingga Februari bisa sesuai harapan. Yaitu bisa mencapai target cakupan 1,4 juta tenaga kesehatan divaksinasi Covid-19.
Ia menambahkan jika ada tenaga kesehatan yang belum terdaftar di tahap pertama maka akan masuk pada kelompok tahap kedua. Menurutnya sampai saat ini belum ada laporan nakes menolak divaksinasi.
“Kita tahu bahwa vaksinasi ini sangat penting diberikan kepada tenaga kesehatan supaya kita bisa mengurangi
tingkat keparahan bahkan kematian akibat Covid-19. Kita sudah mengetahui bersama bahwa sudah lebih dari 600 tenaga kesehatan yang sudah meninggal dan ini merupakan kehilangan yang besar bagi bangsa Indonesia sehingga marilah kita putuskan mata rantai penyebaran Covid-19,” kata dr. Nadia.
Credit: Source link