JawaPos.com – Faktor penting lain untuk mendorong transformasi ekosistem kendaraan listrik adalah insentif. Isu yang jadi topik hangat itu dinilai tidak boleh sia-sia.
Pakar menilai bahwa kendaraan roda dua dan transportasi umum harus menjadi fokus pemberian insentif. Direktur Eksekutif IESR (Institute for Essential Services Reform) Fabby Tumiwa menilai, saat ini belum tepat untuk menggelontorkan insentif pembelian mobil listrik.
Alasannya, kapasitas fiskal yang terbatas, kebutuhan anggaran yang cukup besar bagi pengembangan energi terbarukan, dan memastikan kualitas akses listrik di daerah tertinggal. Dengan pertimbangan tersebut, pemerintah seharusnya lebih fokus memberikan insentif terhadap pembelian kendaraan listrik roda dua.
Dengan demikian, itu dapat meningkatkan permintaan dari masyarakat. Sekaligus bisa mencapai target 13 juta kendaraan roda dua listrik pada 2030.
“Pemberian insentif untuk motor jauh lebih tepat daripada mobil. Kami mendukung elektrifikasi transportasi umum seperti bus listrik. Apabila hal ini direalisasikan, tidak saja mengurangi konsumsi BBM, tapi juga mengurangi kemacetan dan penurunan emisi,” terang Fabby.
Menurut dia, pemberian insentif untuk pembelian motor listrik akan menguntungkan bagi masyarakat menengah ke bawah. Khususnya yang menggunakan moda itu bukan hanya sebagai sarana transportasi, melainkan juga salah satu sumber mata pencaharian, terutama di daerah perkotaan.
Selain itu, insentif pengadaan bus hingga angkutan kecil di perkotaan berbasis listrik akan mendukung terciptanya transportasi publik rendah emisi. Faris Adnan, peneliti muda sistem ketenagalistrikan dan sumber daya energi terdistribusi IESR, menambahkan, pemerintah dapat berkaca dari pengalaman India.
Negara itu menggunakan skema the faster adoption and manufacturing of electric vehicles (FAME). Di dalam skema tersebut, insentif bus lebih besar daripada mobil pribadi. “Apabila kita membahas mobilitas di perkotaan, terdapat kerangka avoid (hindari), shift (alihkan), dan improve (tingkatkan),” ucapnya.
Dari situ, pemerintah dapat membangun transit oriented city. Kota yang ramah pejalan kaki dan transportasi publik berbasis listrik, selain menggunakan kendaraan listrik untuk kendaraan pribadi tentunya.
“Dari pengalaman yang sudah ada, menggunakan framework avoid dan shift bisa menurunkan emisi 40 sampai 60 persen. Untuk itu, transportasi umum perlu disubsidi,” imbuhnya.
Credit: Source link