Pengamat transportasi sekaligus akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah, Djoko Setijowarno.
Jakarta, Jurnas.com – Eforia taksi online sudah saatnya diakhiri. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) harus lebih memperhatikan angkutan umum yang hingga saat ini masih dalam kondisi sangat memprihatinkan.
Demikian disampaikan Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah, Djoko Setijowarno kepada jurnas.com di Jakarta, Senin (12/8/2019).
Djoko mengatakan, sudah semestinya Kemenhub sekarang memikirkan keberadaan transportasi umum se-Indonesia yang sudah kolaps.
Program membentulk transportasi umum yang humanis di 33 kota se-Indonesia di era pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo dianggap Djoko sudah gagal.
“Jangan lagi ditambah kegagalan akan meluncurkan pembelian layanan (buy the service) untuk 6 kota. Sebab, hingga kini bentuk penyaluran anggaran tersebut dari Kemenhub ke daerah saja belum jelas,” kata Djoko.
“Padahal untuk memastikan hingga beroperasi program buy the service tersebut membutuhkan waktu minimal 6 bulan,” sambung Djoko.
Djoko menegaskan, sudah saat eforia taksi online diakhiri. Sebab kalau Kemenhub cermat, banyak yang jadi korban karena ketidakjelasan program ini. “Hingga saat inipun, Kemenhub tidak tahu secara pasti berapa jumlah taksi online. Lantas bagaimana melakukan pembinaannya?” tutur Djoko.
Djoko melihat, pihak aplikator tetap berjaya. Sementara driver hanya sebagai sapi perahan dan tumbal bagi langgengnya industri fintek mereka. “Hal seperti ini tidak atau kurang disadari oleh Kemenhub. Rakyat seolah dibuat senang secara semu,” tegasnya.
Menurutnya, keterpurukan transportasi umum di daerah adalah akibat Kemenhub tidak peduli dan bekerja lambat. Sehingga rakyat jadi mahal mengeluarkan ongkos transportasi yang berkisar antara 25-35% dari pendapatan bulanannya.
“Sungguh tidak ideal. Di negara lain rata rata ongkos transportasi sudah di bawah 10% dari pendapatan bulanannya,” katanya.
Bandingkan dengan negara lain yang berlomba lomba memperbaiki layanan transportasi umum. Sementara di Indonesia, transportasi umum dibiarkan mati selamanya.
Djoko mengakui ada upaya penataan, tetapi sangat lamban. Bahkan Djoko berani memprediksi program penataan untuk 6 kota bisa gagal jika Kemenhub tidak serius urus transportasi umum.
Menuritnya, kinerja transportasi umum di Jakarta bukan representasi kondisi transportasi umum se Indonesia. Sebab kondisi di daerah saat ini, jalan baru sudah terbangun (jalan pararel perbatasan Kalimantan 1.900 km, jalan pantai selatan Jawa sudah lebih dari 500 km selesai, dan jalan Trans Papua). Sayangnya, layanan transportasi umum tak kunjung diberikan.
“Bagaimana masyarakat setempat akan maju ekonominya, jika hanya prasarana yang dibangun tidak diikuti sarana transportsi umumnya?” kata Djoko.
Djoko berpesan, Kemenhub harus serius memperhatikan layanan transportasi umum di daerah, supaya pengeluaran masyarakat tidak besar untuk mobilitas kesehariannya.
“Negara juga diuntungkan, akan hemat BBM, angka kecelakaan menurun, kemacetan lalu lintas di beberapa kota bisa terselesaikan,” tutup Djoko.
TAGS : angkutan umum Kemenhub buy the service
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/57429/Biaya-Transportasi-di-Indonesia-Masih-Mahal/