JawaPos.com – Pemerintah tengah menggodok skema Badan Layanan Umum (BLU) batubara untuk memastikan kelancaran pasokan batubara bagi pembangkit listrik. Nantinya BLU akan berfungsi menanggung selisih harga DMO dengan harga pasar yang harus dibayarkan PLN melalui pungutan ekspor perusahaan tambang,
Dalam perkembangannya, BLU batubara menerima banyak masukan dari industri. Tak hanya sektor listrik, sektor strategis seperti semen dan pupuk juga menginginkan industrinya dapat mengikuti skema BLU batubara ini.
“Peran batubara cukup tinggi karena digunakan selain sebagai bahan produksi juga sebagai bahan bakar langsung,” ujar Widodo Santoso, Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia (ASI) dalam webinar “Tantangan BLU Batubara membentuk Ketahanan Rantai Suplai Energi Nasional” di Jakarta.
Widodo memaparkan kondisi pasar semen di Indonesia yang tetap tumbuh di tengah tekanan pandemi covid-19. Data Asosiasi Semen Indonesia (ASI) mencatatkan pertumbuhan 1,24% hingga Juni tahun ini yang mencapai 29,36 juta ton untuk penjualan domestik. Sedangkan ekspor mencapai 4,77 juta ton. Sehingga total penjualan mencapai 34,13 juta ton, turun 4,5% dibanding tahun 2021. Meski demikian pencapaian tersebut juga dinilai menjadi indikasi positif untuk tren semen di sepanjang periode Juli-Desember 2022.
Widodo menjelaskan, prospek di tahun 2022 berdasarkan perkiraan pertumbuhan ekonomi, sebelumnya diperkirakan penjualan dalam negeri akan tumbuh sebesar 4-5%. Sedangkan ekspor diperkirakan akan mengalami penurunan signifikan yaitu sekitar 17% akibat dari melejitnya harga batubara yang sangat tinggi. “Kondisi ini sangat berdampak pada total penjualan dalam negeri dan ekspor yang hanya mengalami kenaikan sekitar 1% dari target sebelumnya sekitar 4-5%,” ujarnya.
Fakta lainnya, Widodo menegaskan bahwa industri semen saat ini sedang mengalami kesulitan yang cukup berat. Perkembangan pasar yang sangat lambat rata-rata per tahun hanya 3-4% bahkan tahun 2019 merosot turun 10,5% sehingga utilisasi hanya 65%.
“Dengan adanya DMO US$90 untuk industri semen mengakibatkan kenaikan biaya produksi 15-20%. Bila tidak ada kebijakan DMO US$90 atau mengikuti harga pasar, dapat mengakibatkan kenaikan biaya produksi sampai 40%. Tentu saja akan berimbas pada daya beli masyarakat karena harga semen ikut naik,” ujarnya.
Editor : Mohamad Nur Asikin
Credit: Source link