JAKARTA, BALIPOST.com – Sebanyak 17 instrumen pendeteksi gempa bumi atau seismograf di seluruh wilayah Indonesia mulai dilakukan proses instalasi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Proses tersebut untuk meningkatkan kecepatan dan keakuratan informasi serta peringatan dini tsunami.
“Pembangunan shelter dan jaringan seismograf ini diperlukan untuk merapatkan jaringan guna meningkatkan performa kecepatan dan keakuratan informasi dan peringatan dini tsunami di BMKG,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati di kutip dari kantor berita Antara, Minggu (19/12).
Kepala BMKG Dwikorita mengatakan sebelumnya telah terpasang 411 sensor dalam Jaringan Sistem Monitoring Gempabumi. Dengan tambahan 17 sensor tersebut maka saat ini telah terpasang 428 sensor.
Penambahan 17 seismograf itu ditandai dengan peresmian pemasangan sensor seismograf dengan kode SYJI di Kecamatan Candi Abang, Yogyakarta pada Sabtu kemarin (18/12).
Dia menjelaskan bahwa penentuan jumlah dan lokasi penempatan sensor dilakukan berdasarkan historis sumber-sumber gempa bumi yang telah terjadi yaitu pertemuan antar lempeng tektonik seperti Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik dan Lempeng Filipina, serta sesar/patahan aktif yang telah teridentifikasi.
Hal tersebut telah dievaluasi dan diperhitungkan oleh BMKG bersama Tim Ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) di bawah koordinasi Prof. Nanang Puspito. “Dengan adanya penambahan seismograf ini, kami ingin maksimalkan dalam memberikan layanan informasi cuaca, iklim, gempa bumi serta tsunami secara cepat, tepat, dan akurat,” jelas Dwikorita.
Dia mengatakan bahwa BMKG sejak 2016 telah semakin menyadari bahwa Indonesia adalah wilayah yang sangat rawan bencana namun tidak dibekali dengan persenjataan teknologi yang canggih. Atas dasar itu, BMKG terus melakukan penambahan dan pembaharuan alat dan teknologi guna menjaga keselamatan masyarakat terhadap bencana.
Meskipun fenomena gempa bumi dan tsunami tidak dapat diprediksi, jelasnya, namun dampaknya dapat diminimalisir melalui kecepatan analisa gempabumi dengan jaringan seismograf yang rapat, pemodelan tsunami yang presisi, penyebaran informasi meluas ke masyarakat dan pendidikan mitigasi bencana yang tepat.
Keberadaan Sistem Monitoring dan Peringatan Dini Tsunami merupakan wujud kemajuan dan kesiapsiagaan Indonesia dalam upaya mencegah, atau paling tidak mengurangi dampak dari bahaya gempa bumi dan tsunami yang dapat timbul kapan saja dan di mana saja. “Ini ikhtiar BMKG untuk menjaga bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman gempa bumi dan tsunami. Semoga masyarakat Indonesia semakin sadar dan juga tangguh dalam menghadapi bencana,” tegasnya.
Menurut data BMKG, frekuensi gempa bumi di Indonesia setiap tahun cenderung terus meningkat. Dalam kurun waktu 2008-2016 rata-rata terjadi sebanyak 5.000-6.000 kali dalam setahun dengan terjadi peningkatan pada 2017 menjadi 7.169 kali. Angka tersebut kemudian naik kembali pada 2019 menjadi lebih dari 11.500 kali. Dalam hal bencana tsunami, selama periode 1600-Oktober 2021, telah terjadi 246 kali tsunami di Indonesia. (Kmb/Balipost)
Credit: Source link