JawaPos.com – Negara sudah berupaya melindungi para tenaga kerja untuk mendapatkan haknya jika terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Hanya saja, tidak sedikit pengusaha yang membayarkan pesangon itu.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menyebut, berdasar data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), pada 2019 hanya 27 persen pengusaha yang memenuhi pembayaran kompensasi sesuai dengan ketentuan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dia berharap kasus seperti itu jangan sampai terjadi lagi. Pasalnya, kini instrumen hukum untuk melindung hak pekerja itu sudah dijamin di dalam UU nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja. “Saya pastikan tidak ada yang merugikan pekerja,” ujar Piter Abdullah Redjalam kepada JawaPos.com, Sabtu 26/12).
Piter Abdullah Redjalam mengakui bahwa dalam UU Cipta Kerja nilai pesangon yang terima pekerja berkurang dari 32 kali gaji menjadi 25 kali gaji. Tetapi, di balik itu ada kepastian pesangon dibayarkan pengusaha. Karena sudah dijamin pemerintah melalui UU Cipta Kerja.
“Mana yang lebih menguntungkan, dikasih iming-iming pesangon 32 kali tapi tidak dibayar atau pesangon 25 kali gaji tapi pasti terbayar. Saya pasti milih yang 25 kali gaji,” kata Piter Abdullah Redjalam.
Berdasar laporan World Bank yang mengutip data Survei angkatan kerja nasional, pada 2018 BPS menyatakan bahwa 66 persen pekerja sama sekali tidak mendapat pesangon sesuai aturan. Kemudian 27 persen pekerja menerima pesangon kurang dari yang seharusnya diterima. Sisanya, 7 persen pekerja yang menerima pesangon sesuai dengan ketentuan.
Piter memastikan, UU Cipta Kerja mampu menjadi solusi dari persoalan pesangon bagi pekerja yang terdampak PHK. UU tersebut diyakini memberikan kepastian pembayaran pesangon bagi pekerja di sektor apa pun yang terdampak PHK.
“Kenapa soal pesangon pekerja yang terdampak PHK pasti akan dibayar? Itu pasti, karena klausulnya tidak lagi menjadi perdata, tapi pidana,” ujarnya.
Jika perusahaan tidak bersedia membayar hak pekerja sebagaimana tercantum dalam UU, maka perusahaan itu bisa terkena pidana dan bisa dipidanakan.
Menurut Piter, kelemahan dari UU 13/2003 yakni perusahaan yang tidak membayarkan pesangon pekerja hanya bisa dituntut secara perdata. Jika perdata, prosesnya panjang dan beban yang timbul dari persoalan tersebut ada di pekerja. Ironisnya, jika perusahaan tetap tidak membayar, maka akan dilakukan penuntutan secara perdata. Parahnya lagi biaya dibebankan ke pihak penuntut atau pekerja.
Baca juga: Sembilan Tahun OJK: Modal Pemulihan Ekonomi Nasional 2021
Tidak hanya menyoal pesangon, UU Cipta Kerja juga melindungi pekerja dalam konteks PHK. Pasal 151 UU Cipta Kerja menyebut bahwa perusahaan pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah harus mengupayakan tidak terjadi PHK. Jika pun terjadi PHK dan pekerja menolak, maka harus dilakukan perundingan bipartit. Bila belum mencapai kesepakatan, maka harus dilakukan dengan menyelesaikan perselisihan hubungan industri.
“Ini jelas sekali tidak ada ruang pengusaha untuk melakukan tindakan sewenang-wenang kepada pekerja,” terangnya.
Lalu pasal 153 menyebut bahwa perusahaan dilarang melakukan PHK karena pekerja sakit selama tidak lebih 12 bulan, menjalankan ibadah, menikah, hamil, melahirkan atau gugur kandungan, dan beberapa hal lainnya.
“Ini merupakan bukti jika pemerintah melindungi pekerja. UU Ciptaker adalah UU yang sangat baik. UU ini memang belum sempurna tapi pemerintah sudah memberikan kesempatan untuk memberikan masukan. Masih ada proses yang masih berjalan, pembahasan turunan UU,” ujarnya.
Sejatinya, UU Cipta Kerja menciptakan investasi dan menciptakan lapangan kerja yang akan mengakomodasi kebutuhan calon pekerja, bukan pekerja. Sebagai upaya mengatasi calon pekerja yang muncul setiap tahun. “Bicara UU Cipta Kerja tidak bisa terlepas dari perspektif pekerja dan calon pekerja. Artinya, UU Cipta Kerja jelas ada perspektif yang ditujukan untuk melindungi pekerja dan calon pekerja, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang,” tandas Piter.
Saksikan video menarik berikut ini:
Credit: Source link