JawaPos.com – Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini mengatakan, pemerintahan periode Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mewariskan utang lebih dari Rp 10.000 triliun untuk pemerintahan periode mendatang.
Ia membeberkan, hal tersebut terlihat dari jumlah utang pemerintah Indonesia yang telah mencapai Rp 7.554,2 triliun per November 2022. Jika ditambahkan dengan utang BUMN yang diperkirakan mencapai sekitar Rp3.000 triliun, maka total utang pemerintah berpotensi tembus Rp 10.000 triliun.
“Sekarang (pemerintahan Jokowi) utangnya itu, sampai November 2022 mencapai 7554 triliun ditambah (utang) BUMN sekitar Rp 2.000-Rp 3.000 triliun itu belasan triliun utang yang diwariskan kepada pemimpin yang akan datang,” kata Didik dalam Diskusi Publik Indef yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu (5/1).
Didik menyebutkan, utang pemerintah terus bertambah sebab sebelumnya posisi utang pada 2014 itu ada di posisi 2.608 triliun pada periode Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam hal ini, ia mewanti-wanti pemerintah untuk tidak terus menambah jumlah utang sebab menurutnya akan berimplikasi pada APBN ke depan yang akan habis untuk membayar utang.
“Implikasinya pada APBN ke depan dan akan habis untuk membayar utang dan utang itu akan terus banyak,” imbuhnya.
Lebih lanjut, ia memaparkan penarikan utang akan terus melonjak. Pada awal pandemi Covid-19 pemerintah mencetak Rp 1.686 triliun utang baru pada 2020. Kemudian berangsur turun menjadi Rp 1.429 triliun pada tahun 2021.
Meski demikian, pada tahun 2022 pemerintah batal merealisasikan utang baru sebesar Rp 1.389 triliun. Hal ini dikarenakan APBN pada tahun tersebut mengalami defisit sekitar Rp 800 triliun lantaran mendapat “durian runtuh”.
“APBN 2022 defisitnya sekitar Rp 800 triliun, ada keberuntungan ada Rp 400 triliun yang didapat (karena penerimaan negara melesat karena kenaikan harga komoditas) sehingga penarikan utang di 2022 itu tidak Rp 1.300 tetapi kurang dari Rp 1000. Tapi tetap, tahun berikutnya akan kembali besar,” lanjutnya.
Dalam hal ini, Didik menilai hal ini terjadi karena diakibatkan perencanaan anggaran yang kurang matang semakin juga terlihat dari perkembangan utang pemerintah yang makin meningkat. Sementara itu, demokrasi yang semakin memburuk membuat peran check and balance dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak terjadi hari ini.
“Ekonomi dan politik tidak bisa dipisahkan. Ada fakta berdasarkan defisit anggaran terjadi karena perencanaan anggaran kurang matang. Perkembangan utang pemerintah meningkat akhirnya kondisi politik merusak demokrasi,” tandasnya.
Editor : Estu Suryowati
Reporter : R. Nurul Fitriana Putri
Credit: Source link