JawaPos.com – Sidang pembacaan putusan kasus kekerasan seksual di Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI), Kota Batu, kemarin (7/9) ternyata bukan ujung perkara. Sebab, terdakwa dalam kasus tersebut, Julianto Eka Putra, mengajukan banding atas vonis 12 tahun penjara yang dijatuhkan kepadanya.
Pembacaan putusan oleh Ketua Majelis Hakim Harlina Rayes SH MH itu juga diikuti aksi damai sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pegiat perlindungan anak di depan gedung Pengadilan Negeri (PN) Malang. Di Ruang Cakra tempat berlangsungnya sidang, tampak hadir di antaranya Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait, perwakilan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), serta Komisi Yudisial (KY).
Sidang dimulai pukul 09.54. Selama sekitar empat jam, majelis hakim membacakan dakwaan sampai amar putusan.
Jaksa menuntut pengusaha berusia 50 tahun tersebut 15 tahun penjara. Dalam putusannya, selain vonis 12 tahun penjara, hakim menjatuhkan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan kepada pria yang di kalangan dekatnya biasa disapa Koh Jul itu (selengkapnya lihat grafis).
Julianto juga harus membayar restitusi atau ganti rugi kepada korban SDS Rp 44,7 juta (44.744.623). Bila dalam 1 bulan putusan hakim bersifat inkracht uang tidak dibayar, hartanya disita dan dilelang kejaksaan untuk membayar restitusi. Tidak cukup juga, diganti kurungan selama 1 tahun.
Dalam sidang itu juga dibeberkan rentetan perbuatan Julianto dengan korban SDS yang terjadi pada rentang Oktober 2009 sampai 2011. SDS saat ini sudah berusia 27 tahun.
”Ada yang terjadi di sebuah bukit di Kota Batu, dalam kawasan SPI, dan sebuah hotel di Singapura saat studi banding ke sana,” papar Harlina.
Total, lanjut Harlina, terjadi sembilan kali pelecehan maupun persetubuhan. Semuanya jarang diketahui orang.
Dalam beberapa kali menjelang melakukan perbuatan tersebut, terdakwa disebut hakim juga memberikan motivasi kepada SDS. Di antaranya, ”Kamu bisa jadi pemimpin” dan ”Saya membantu kamu tumbuh berkembang”. Karena itulah, SDS tidak berani bercerita banyak tentang apa yang terjadi pada dirinya.
Keterangan SDS saat menjadi saksi juga mengatakan bahwa terdakwa memberinya handphone melalui kepala sekolah, yang kemudian hanya dimode diam atau bergetar. SDS juga tidak berani pulang kampung ke Madiun selama berada di SPI.
Mendengar paparan tersebut, Julianto yang berada di Rumah Tahanan Lapas Lowokwaru, Kota Malang, hanya bisa mendongakkan kepala sambil sesekali geleng-geleng. Pada pukul 12.37, sidang selesai.
”Menjatuhkan hukuman pidana selama 12 tahun penjara,” kata Harlina saat membacakan amar putusan.
Putusan tersebut sesuai dengan pasal yang dikenakan pada tuntutan.
Julianto pun mengambil sikap atas putusan itu begitu kuasa hukumnya, Hotma Sitompul, menanyakan. ”Banding, Pak Ketua,” ucapnya.
Hal itu diikuti sikap jaksa yang digawangi Kasi Pidana Umum (Pidum) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Batu Yogi Sudharsono SH yang menyatakan pikir-pikir. ”Kami akan pelajari putusan selama tujuh hari itu untuk menyatakan sikap,” kata Yogi.
Setelah sidang, anggota kuasa hukum Julianto, Filiphus Sitepu SH, mengatakan bahwa dalam putusan tersebut semua barang bukti dan saksi yang diajukan tidak dijadikan pertimbangan. ”Sekitar 10 saksi yang kami sodorkan dikesampingkan, sementara 3 dari penuntut umum dijadikan pertimbangan,” paparnya.
Dia menyayangkan, padahal semua saksi tersebut dimintai keterangan di bawah sumpah. Pihaknya pun segera membuat permohonan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya.
Perkara itu menjadi atensi Kemen PPPA sejak awal. ”Kami mengapresiasi dengan adanya keyakinan hakim yang digunakan dalam putusan,” kata Asisten Deputi Pelayanan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus Kemen PPPA Robert Parindungan Sitinjak.
Credit: Source link