JawaPos.com – Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menyoroti kebijakan pemerintah dalam mengatasi krisis perekonomian akibat pandemi Covid-19. Menurutnya, ada ketidakcocokan antara solusi yang ditawarkan pemerintah dengan penyebab permasalahan.
Sorotan pertama Misbakhun pada kebijakan pemerintah tentang penempatan dana di bank-bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Menurut Misbakhun, tidak ada negara G20 ataupun anggota BRICS (Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) yang mengatasi krisis pada masa pandemi ini dengan penempatan dana di bank.
“Jadi metode itu sangat aneh,” ujar Misbakhun dalam Forum Diskusi Salemba bertema ‘APBN Sebagai Sarana Pemulihan Ekonomi Nasional’ yang dilaksanakan secara daring, Sabtu (29/8).
”Kita tidak punya succes story arround the world (kisah sukses di seluruh dunia, red) mengenai penempatan dana ini,” tambahnya.
Lebih lanjut Misbakhun mengatakan, kebijakan itu berpotensi membuat bank yang ketempatan dana pemerintah terguncang pada akhir Desember mendatang. Sebab sesuai aturan audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dana negara harus masuk ke rekening pemerintah di Bank Indonesia pada 31 Desember atau tutup buku APBN.
“Uang yang tadinya mengembara di mana pun harus ada di pemerintah. Bank yang tadinya mendapat dana penempatan suddenly shocked (tiba-tiba terguncang, red) karena duitnya harus mengalir ke rekening pemerintah di bank sentral,” tegasnya.
Misbakhun juga menyoroti penjaminan loss limit yang dipercayakan kepada BUMN di bawah Kementerian Keuangan (kemenkeu). Di antaranya ialah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII).
Menurut Misbakhun, penjaminan yang diserahkan kepada LPEI, PT SMI dan PT PII justru mengisyaraktan ketidakpercayaan Kemenkeu kepada institusi lain.
“Tiba-tiba mandatnya ke sana (BUMN di bawah Kemenkeu, red),” katanya. “Saya melihat adanya ketidakpercayaan Kementerian Keuangan terhadap di luar institusi Kemenkeu dan ini akan menajdi problem kita,” sambungnya.
Selain itu, Misbakhun mengkritisi kebijakan pemerintah yang hanya memberikan bantuan kepada kalangan miskin dan sangat miskin. Menurutnya, kelas menengah yang baru tumbuh namun tiba-tiba turun kelas karena pandemi justru tidak dibantu.
Seharusnya jika pemerintah mau menggenjot konsumsi, kata Misbakhun, kelas menengah juga dibantu. “Kelas menengah yang baru turun kelas diatasi dengan apa, padahal mereka ini agresif dalam konsumsi,” tegasnya.
Oleh karena itu mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu itumenyebut pemerintah melakukan mismatch in policy atau ketidakcocokan dalam kebijakan. Sebab, bantuan sosial yang digelontorkan untuk masyarakat miskin dan sangat miskin tak serta-merta meningkatkan konsumsi dan daya beli.
“Apakah itu cukup mengangkat daya beli kita? Kompleksitas persoalan belum diselesaikan dengan kompleksitas tawaran solusinya,” katanya.
Misbakhun menegaskan, masalah pemerintah saat ini adalah keterbatasan uang. Dalam pandangannya, selama ini pemerinah hanya mengandalkan utang ketika menghadapi keterbatasan dana.
“Pemerintah jurusnya hanya satu utang, tetapi uang dari siapa? Berapa biayanya?” katanya.
Oleh karena itu Misbakhun menawarkan kebijakan pelonggaran kuantitatif atau quantitative easing (QE) dalam bentuk cetak uang. “Saya sejak awal bicara soal cetak uang, quantitative easing,” cetusnya.
Namun, katanya, pemerintah tak menggubris tawaran itu. “Pemerintah kan mazhabnya bukan yang menyetujui cetak uang dengan alasan berbeda currency dengan Amerika (USD, red), tetapi kan negara lain melakukannya,” pungkasnya. (*)
Editor : Dinarsa Kurniawan
Reporter : Gunawan Wibisono
Credit: Source link