JawaPos.com – CORE Indonesia memandang, selama kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi, tekanan terhadap ekonomi cukup mereda. Sayangnya, di sisi lain penanggulangan terhadap wabahnya tidak berhasil bahkan mengalami akselerasi.
“Saya pikir pemantauan selama PSBB transisi perlu dilakukan evaluasi, karena kalau berketurutan ini akan ada risiko besar ke depan. Makanya bisa dimengerti kemudian mengapa DKI Jakarta memberlakukan kembali PSBB yang lebih ketat, meski tidak seketat yang pertama,” kata Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal, Sabtu (19/9).
Menurutnya, jika dibandingkan dengan negara lain, tes cepat yang digelar Indonesia masih jauh lebih rendah. Angkanya lebih sedikit dibanginkan dengan Korea, Malaysia, dan Vietnam.
Padahal, kata Faisal, negara yang cepat menanggulangi pandemi, cepat pula pulih krisis ekonominya. “Jadi, ini meningkatkan risiko kita dari sisi ekonomi. Oleh karena itu, masih banyak PR ke depannya untuk penanggulangan wabah,” imbuhnya.
Faisal mengaku, kontraksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal-II tidak lebih dalam dibandingkan sejumlah negara seperti Singapura, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Namun, risiko ke depan bisa jadi lebih besar karena grafik penyebaran Covid-19 masih terus meningkat.
Negara-negara yang sukses meredam penyebaran wabah, lebih cepat pulih ekonominya, contohnya Vietnam dan Tiongkok. Di sisi lain, dalam konteks ekspor impor, jika global cepat pulih, maka prospek ekspor juga akan pulih lebih cepat.
Dia melihat, pada tahun ini ekspor dan impor sama-sama terkontraksi. Namun, kontraksi ekspor jauh lebih ringan.
“Kalau kita lihat 10 komoditas ekspor kita, di tahun 2020, performanya dibandingkan dengan tahun lalu malah lebih baik. Ini blessing in disguise, contohnya minyak sawit, produk logam dasar, makanan olahan, dan alas kaki,” tuturnya.
Faisal menyebut, surplus perdagangan Indonesia pada masa pandemi lebih baik. Tapi, penyebabnya bukan karena ekspornya yang meningkat, melainkan karena impornya yang anjlok.
Penurunan impor terjadi pada barang modal dan bahan baku/penolong. “Jadi ini tidak sehat. Impor itu mengalami kontraksi bukan hanya di barang konsumsi, tetapi justru yang paling dalam di impor bahan baku dan barang modal, yang merupakan impor kegiatan produktif di dalam negeri,” jelasnya.
Faisal menambahkan, sampai saat ini konsumsi masyarakat masih terus mengalami kontraksi. “Ketika diperlakukan new normal, kontraksinya membaik, tapi kita lihat, perbaikannya itu sangat lambat,” tuturnya, setelah kuartal-II mencetak kontraksi 5,32 persen.
Editor : Estu Suryowati
Reporter : Romys Binekasri
Credit: Source link