JAKARTA, KRJOGJA.com – Perekonomian Indonesia terus menggeliat menuju pemulihan setelah kontraksi akibat pandemi Covid-19. Kembali pulihnya ekonomi Tanah Air dinilai tak terlepas dari dari peran aktif perbankan syariah memutar roda perekonomian dengan mendongkrak kinerja pembiayaan yang tumbuh di atas rata-rata industri perbankan nasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2022 mencapai 5,44% secara tahunan atau year on year (yoy). Melihat ke belakang, saat pandemi melanda perekonomian nasional terkoreksi. Tercatat pada kuartal II/2020 terkoreksi 5,32%, kuartal III/2020 sebesar 3,49%, kuartal IV/2020 terkoreksi 2,17%, dan kuartal I/2021 sebesar 0,71%.
Momentum pemulihan ekonomi terjadi pada kuartal II/2021 yang tumbuh sebesar 7,07%. Pertumbuhan berlanjut pada kuartal III/2021 mencapai 3,51%, kuartal IV/2021 sebesar 5,02% dan kuartal I/2022 di level 5,01%. Terkait kinerja pemulihan ekonomi yang terus berlanjut hingga kuartal II/2022, Chief Economist PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BSI) Banjaran Surya Indrastomo menjelaskan hal tersebut masih ditopang oleh Windfall Profit Komoditas ekspor utama dan mobilitas masyarakat yang kembali seperti sebelum pandemi.
Selain itu, sektor manufaktur konsisten ekspansif juga diikuti segmen Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UKM) yang kembali bergairah. Kondisi ini menopang peningkatan permintaan yang diiringi naiknya konsumsi dari kelas pekerja.
Imbasnya, pertumbuhan total kredit industri perbankan nasional melesat double digit ke level 10,66% menjadi Rp6.313 triliun pada Juni 2022. Angka ini melampaui estimasi awal di kisaran 6%-8%. Pertumbuhan kredit yang solid ini terjadi di tengah pengetatan likuiditas. Walaupun begitu, kata Banjaran, Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal perbankan berada di atas ambang batas, menunjukkan stabilitas sektor keuangan yang kuat.
“Di tengah geliat perekonomian, perbankan syariah memainkan peran aktif melalui pertumbuhan penyaluran pembiayaan yang di atas rata-rata industri perbankan nasional. Sampai dengan kuartal II/2022 pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah mencapai 14,09% (yoy) di tengah permodalan yang tetap kuat,” kata Banjaran menegaskan.
Mengutip data yang dimiliki pihaknya, dengan persentase pertumbuhan itu secara nominal pembiayaan perbankan syariah nasional mencapai Rp462,34 triliun hingga akhir kuartal II/2022. Adapun pertumbuhan quarter to quarter (qtq) mencapai 6,43% dari Rp434,39 triliun pada kuartal sebelumnya.
Sementara itu, perbankan konvensional pada kuartal II/2022 tumbuh sebesar 10,37% secara yoy menjadi Rp5.851 triliun. Adapun pertumbuhan quarter to quarter (qtq) mencapai 5,19% dari Rp5.562 triliun pada kuartal sebelumnya. Sedangkan industri perbankan nasional tumbuh 5,28% secara qtq dari Rp5.997 dari kuartal sebelumnya.
Tak hanya itu, dari segi aset, pertumbuhan bank syariah pun lebih besar dari pertumbuhan industri perbankan nasional ataupun perbankan konvensional. Di mana aset industri perbankan syariah tumbuh 14,21% yoy menjadi Rp721 triliun. Sementara aset total industri perbankan nasional hanya tumbuh 9,52% dan industri perbankan konvensional sebesar 9,19%. Banjaran pun lanjut menjelaskan bahwa sejalan dengan perbaikan ekonomi, BSI tumbuh signifikan di sektor konsumer. Karena sektor tersebut sudah menjadi pusat pertumbuhan BSI selama pandemi.
“Diikuti dengan sektor wholesale yang tumbuh seiring dengan rebound korporasi merespon demand yang pulih. Setali tiga uang, sektor mikro juga menunjukkan perkembangan pesat merespon momentum recovery,” katanya merinci.
Kenaikan Suku Bunga Acuan
Di sisi lain, Banjaran pun angkat bicara terkait penyesuaian suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI). Bank sentral diketahui memutuskan menaikkan BI 7 Days Reverse Repo Rate atau suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75% pada Rapat Dewan Gubernur Agustus 2022. Menurut Banjaran, langkah BI tersebut sebenarnya di luar ekspektasi pasar.
Namun kebijakan tersebut memang perlu diambil oleh bank sentral untuk merespon kondisi ekonomi terkini di tataran global maupun tingkat nasional. Terutama kemungkinan agresivitas bank sentral Amerika Serikat, harga komoditas yang menujukkan tren penurunan, dan paling penting rencana terbaru pemerintah untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM).
“Ahead the curve dan aktif antisipatif, menandai perubahan pendekatan BI untuk lebih proaktif dan protektif. Biasanya transmisi ke suku bunga bank itu ada lag 3 sekitar bulan,” pungkasnya. (*)
Credit: Source link