JawaPos.com – Sebuah fenomena baru tengah melanda kaum muda di Korea Selatan (Korsel). Mereka berbondong-bondong pindah ke desa atau istilahnya kwichon, dan mayoritas memilih bekerja sebagai petani.
Pada 2021 saja, tercatat sebanyak 378 ribu orang pindah ke perdesaan. Migrasi ini naik 15 persen dari 2015. Angka tersebut juga tertinggi dalam satu dekade.
Mereka sengaja ‘hijrah’ ke desa, karena kehidupan di perkotaan semakin mahal dan sulit terjangkau oleh daya beli para milenial. Harga rumah yang semakin membengkak, membuat mereka kesulitan untuk membeli atau sekadar menyewa tempat tinggal.
“Mereka tidak memaksakan diri untuk tetap ngotot tinggal di kota, namun dengan penuh realistik, mereka memanfaatkan peluang yang ada demi melanjutkan kehidupannya,” ulas Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat, Entang Sastraatmadja di Antara, dikutip Minggu (2/10).
Gambaran ini sangat bertolak-belakang dengan apa yang terjadi di Indonesia. Di Korsel, anak muda perkotaan karena berbagai faktor ramai-ramai meninggalkan kota untuk menetap dan berkiprah menjadi petani di desa.
“Di negara ini kebalikannya yang terjadi. Kaum muda perdesaan ramai-ramai pergi ke kota untuk menyongsong kehidupan yang mereka pikir bisa lebih baik lagi,” kata Entang.
Beberapa tahun belakangan ini, pemerintah mengenalkan Program Petani Milenial. Salah satu tujuannya untuk mengajak kaum muda kembali menjadi petani dalam suasana kekinian.
Ini ditempuh, karena muncul fenomena kaum muda di negara ini, baik yang tinggal di desa, apalagi di perkotaan, terekam semakin enggan jadi petani. Tanda-tanda kaum muda tidak tertarik menjadi petani, sebetulnya telah mengemuka sejak puluhan tahun lalu.
“Seiring dengan perkembangan zaman, kaum muda bangsa ini rupanya semakin mendambakan pekerjaan yang jauh dari hal-hal yang sifatnya kurang sofistikasi. Bekerja di sawah identik berkubang dengan lumpur. Mereka harus turun ke sawah dan ‘leledokan’ (berkotor-kotoran),” jelas Entang.
Suatu hal yang berbeda jika mereka bekerja di kantoran. Gedung yang megah. Ruangan yang nyaman. Tidak tersengat matahari. Dilengkapi dengan Air Conditioner. Pakaian rapi dengan jas dan dasi. Sepatu mengkilat.
Ditambah dengan gaya hidup kaum muda yang sofistikasi, tentu saja membuat ngiler anak muda untuk menikmatinya. Artinya, suatu hal yang wajar bila kaum muda berebut ingin meraihnya.
Kaum muda saat ini, memang berbeda dengan kondisi kehidupan kaum muda di masa lalu. Derasnya arus informasi yang disebabkan pergerakan teknologi informasi yang begitu cepat, membuat kaum muda semakin cerdas menentukan pilihan hidup yang akan ditekuninya nanti.
Mereka semakin paham, menjadi petani padi sekarang, sama saja dengan masuk dalam kubangan kemiskinan.
Bahkan mereka tahu persis, jika pemerintah sendiri belum cukup mampu membuat ‘jaminan’, sekiranya menjadi petani padi, dirinya akan hidup sejahtera dan bahagia.
Jadi petani padi sekarang, benar-benar mengundang masalah tersendiri dalam dunia pertanian.
Bukan saja kondisinya yang tidak menarik kaum muda untuk berkiprah di dalamnya, namun jika dikaitkan dari sisi penghasilan juga tidak merangsang kaum muda untuk menggelutinya.
Petani Milenial
Lalu, bagaimana dengan Petani Milenial yang selama ini dikampanyekan pemerintah sebagai solusi regenerasi petani? Apakah konsep Petani Milenial akan mampu menggeser mind-set kaum muda terhadap citra petani padi?
Berdasarkan pengamatan yang menyeluruh, Petani Milenial umumnya lebih banyak berkiprah di komoditas hortikultura dan perkebunan. Namun, jarang sekali anak muda yang mau berkiprah menjadi petani padi.
Kalau pun ada, mereka lebih tertarik menjadi off-taker atau pengusaha ketimbang harus mengolah lahan dan mau untuk ‘leledokan’ (kokotoran) di sawah ladang. Sisi hulu dalam sistem pertanian, dianggap kurang menjanjikan dibanding dengan sisi hilirnya.
Berkiprah menjadi petani padi, memang bukan pilihan para pencari kerja baru. Dari pada mengolah padi di sawah, anak muda perdesaan lebih suka beramai-ramai datang ke kota besar dan mengadu nasib di sana. Mereka lebih menikmati menjadi buruh harian lepas di perkotaan, ketimbang harus menjadi petani padi.
Atau kalau mereka tetap harus tinggal di desa, maka menjadi tukang ojek merupakan pilihan terbesarnya. Dihadapkan kepada fenomena yang tengah berlangsung, wajar dipertanyakan ada apa sebetulnya dengan petani padi di negeri ini?
Mengapa anak muda cenderung tidak tertarik untuk menjadi petani padi? Semua pihak tentu butuh jawaban yang bernas untuk dikaji lebih dalam.
“Kwichon atau anak-anak muda pindah dan menetap di desa seperti yang terjadi di Korsel, mestinya mampu dijadikan bahan pembelajaran bagi bangsa ini dalam merancang strategi pembangunan pertanian yang melibatkan kaum muda,” harap Entang.
Selama ini, kalau kaum muda berkunjung ke desa, lebih diniati untuk berlibur atau melepas kepenatan perkotaan. Tidak sedikit diantara mereka yang datang ke desa hanya sekadar untuk merasakan sejuknya angin perdesaan. Jarang dari mereka yang mau menetap di perdesaan sambil bekerja menjadi petani.
Ada juga mereka yang ngotot datang ke desa, hanya ingin menyaksikan tanaman padi yang menguning karena akan dipanen. Pertanyaannya, mengapa diantara kaum muda perkotaan yang datang ke desa tidak ada yang kwichon seperti di Korea Selatan?
Inilah tantangan pembangunan pertanian padi di negeri ini. Alih generasi petani padi, kelihatannya terkendala oleh tidak adanya jaminan Pemerintah terhadap kaum muda yang mau berkiprah jadi petani padi.
Kaum muda butuh jaminan, jika mereka bergelut dengan usaha tani padi, maka mereka tidak akan hidup melarat. Pemerintah perlu meyakinkan mereka, menjadi petani padi itu bakalan hidup sejahtera dan bahagia.
“Catatan kritis berikutnya, mampukah pemerintah membuat jaminan yang demikian? Jawabannya tegas, mestinya pemerintah mampu,” tegas Entang.
Dengan kewenangan yang ada, pemerintah dapat mengoptimalkan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada untuk menjawab harapan kaum muda akan kesejahteraan hidup sebagai petani. Sebab sudah saatnya generasi muda di tanah air bercita-cita menjadi petani.
Credit: Source link