JawaPos.com — Besarnya selisih (gap) tarif cukai hasil tembakau (CHT) antargolongan pada struktur tarif CHT turut berkontribusi pada menjamurnya rokok-rokok dengan harga murah. Konsumen pun bebas memilih membeli rokok murah yang sesuai kemampuan mereka.
Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia (UI) Risky Kusuma Hartono mencontohkan, selisih tarif cukai antara golongan 1 dan di bawahnya untuk sigaret kretek mesin (SKM) masih lebar. Selisih tarif keduanya yaitu Rp385 per batang. Apabila 1 bungkus rokok terdapat 16 batang, maka selisih tarif cukainya sebesar (Rp385 X 16 batang) Rp6.160.
“Ini belum termasuk PPN, maka rentang perbedaan harganya makin tinggi lagi,” ujarnya dalam keterangan, Senin (10/10). Belum lagi, produk ini juga dikenakan pajak rokok 10 persen untuk daerah, sehingga selisih total pajaknya bisa mencapai Rp8.000 per bungkus.
Risky mengatakan, kebijakan CHT yang menyuburkan fenomena rokok murah tidak sejalan dengan semangat dan tujuan utama cukai, yaitu pengendalian konsumsi rokok. Jika dilihat lebih jauh, di tingkat konsumen, variasi harga rokok ini bisa mencapai Rp10.000-an.
“Perokok masih bisa leluasa membeli produk rokok yang lebih murah bahkan ketika harga rokok naik,” ujarnya.
Risky pun memaparkan hasil studi soal keterkaitan rokok murah dengan perokok anak. Pada intinya, anak-anak tetap mampu membeli rokok kendati tarif cukai dinaikkan setiap tahun.
Atas dasar itu, Risky merekomendasikan pemerintah untuk melihat ulang struktur tarif cukai tembakau saat ini. Itu guna mencegah semakin banyaknya rokok murah beredar di pasar, termasuk mempercepat pengurangan lapisan struktur tarif CHT.
Pemerintah harus mengambil langkah yang cukup signifikan, diantaranya untuk mengurangi prevalensi perokok anak, menekan angka perokok usia dewasa, dan mencapai visi Indonesia yaitu mencapai SDM Unggul. Hal serupa juga disampaikan oleh Tim Peneliti Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Lara Rizka terkait lebarnya selisih tarif CHT antargolongan.
“Selisih tarif tertinggi dan terendah memengaruhi harga rokok yang beredar di pasaran, sehingga mengurangi efektivitas cukai untuk pengendalian konsumsi tembakau,” ujarnya.
Hal ini terjadi karena adanya ketersediaan rokok yang lebih murah sehingga perokok dapat beralih ke rokok murah ketika ada kenaikan harga. “Oleh karena itu, selisih tarif tersebut perlu didekatkan. Skemanya, tarif yang rendah perlu dinaikkan secara signifikan,” pungkasnya.
Credit: Source link