Ilustrasi Pilkada 2018
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Pilkada serasa pasar taruhan. Ramai dan sedikit gaduh. Kasak kusuk para petugas partai menjejali info media. Semua ingin menang.
Sejumlah lembaga survei pasang iklan. Calon A elektabilitasnya sekian, calon B potensial memenangkan. Menggiring opini kepada calon yang paling siap dan banyak uang. Harga pas, tancap gas. Dimana idealismenya? Jangan tanya. Di pasar yang ada adalah kalkulasi keuntungan.
Biaya pilkada sungguh sangat mahal. La Nyalla meradang, Gerindra jadi korban. Ini momentum, terutama bagi pihak yang ingin melumpuhkan partai oposisi. Tidak hanya Gerindra, di Cirebon Kota, PKS dikucek-kucek, tapi tak terbukti. Itulah nasib jadi oposisi: terbatas uang, dan dicari-cari kesalahan.
Hanura, partai koalisi penguasa aman, meski ditimpa prahara. Menkumham dengan cepat meredam. Surat sakti membuat Sarifuddin Sudding dan loyalisnya tak berkutik dan terdiam. Kedekatan OSO dengan keluarga besan penguasa kabarnya menjadi sebab ia tak mudah dikalahkan.
Di pasar taruhan, para petaruh mengadu keberuntungan. Tidak saja para calon, ketua-ketua partai ikut mengambil kesempatan. Iklan dan baliho sudah mulai dipasang: “calon wakil presiden.” Sangat kreatif dan imajinatif. Kenapa tidak iklan “calon presiden”? Kalah aura dengan presiden yang ada. Tepatnya, gak ada nyali untuk berhadapan.
Petaruh dari luar pun tertarik ikut memeriahkan. Mereka adalah para saudagar yang taruh uang untuk dilipatgandakan. Reklamasi, Meikarta dan berbagai proyek lainnya sedang dicurigai jadi bagian dari taruhan.
Penguasa pun tak tinggal diam. Untuk apa? Memperpanjang kekuasaan. Jatah satu periode lagi adalah kesempatan. Manusia normal pasti tak akan melewatkan.
Pilkada rasa pilpres. Begitulah anggapan banyak pengamat. Adu strategi mulai dijalankan. Dua rival bebuyutan: penguasa vs oposisi mengatur posisi. Pilkada menjadi area pertarungan sengit. Seperti papan catur; ster, kuda dan pion sudah mulai dimainkan.
Penguasa berhasrat ingin memenangkan pertarungan. Sejumlah calon dipasang. Pulau Jawa jadi prioritas incaran. Ada Ridwan Kamil di Jawa Barat, Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, dan Khofifah di Jawa Timur. Kekalahan di Jakarta dan Banten mesti dikompensasi dengan kemenangan di tiga provinsi Jawa ini.
Jumlah pemilih yang hampir 100 juta sangat menggiurkan. Siapa pemenang pilgubnya, roda yang membawa tiga gerbong suara di pulau Jawa ke pemilihan presiden bisa dimainkan. Kemenangan pilgub di pulau Jawa dianggap linier dengan kemenangan pilpres 2019. Benarkah?
Jawabannya mendekati benar jika pertama, calon gubernur di tiga wilayah Jawa itu merepresentasikan koalisi penguasa vs oposisi. Masing-masing partai koalisi berhasil memajukan proxy-nya sebagai calon yang bertarung. Kedua masing-masing partai pengusung merepresentasikan koalisi penguasa vs lawan penguasa.
Nampaknya syarat pertama dan kedua ini tidak terpenuhi. Di Jawa Tengah misalnya, hadirnya Taj Yasin, putra kiyai kharismatik Maimoen Zubair, sebagai pendamping Ganjar tidak merepresentasikan pihak penguasa. Santri Sarang sebagai basis dukungan Taj Yasin bukanlah pihak yang selama ini mendukung penguasa. Sebaliknya, banyak diantara para santri justru menjadi bagian dari aksi 212.
Masuknya Taj Yasin lebih tepat dianggap sebagai keberhasilan penguasa dan PDIP melakukan akuisisi calon. Posisi PPP yang melemah, lebih tepatnya tersudut dan terjepit, saat ini menjadi sarana yang memudahkan proses akuisisi itu.
Dukungan para santri di pilkada Jateng kepada Taj Yasin, tidak bisa diartikan sebagai dukungan otomatis kepada Ganjar dan Jokowi. Bukan pula kepada PDIP. Tapi, semata-mata lebih karena faktor Taj Yasinnya. Para santri adalah pengikut setia K.H. Maimoen Zubair. Mereka tidak akan membiarkan “Gusnya” (panggilan kehormatan untuk putra kiyai) kalah di medan perang. “All out” mereka akan bekerja dengan tenaga, waktu dan dana terbaiknya untuk membalas jasa Sang Kiyai. Dalam filosofi santri: ini harga mati.
Mereka adalah konstituen setia PPP karena Sang Kiyai merupakan tokoh utama PPP. Hampir dipastikan tidak ada yang memilih PDIP.
Seandainya Ganjar-Taj Yasin menang, tidak otomatis mereka yang memilih Ganjar-Taj Yasin akan memilih Jokowi. Apalagi jika Jokowi maju di pilpres 2019 tidak dengan PDIP. Maka, dipastikan pemilih Ganjar-Taj Yasin dari partai berlambang kepala banteng ini banyak yang akan berpaling dan lari dari Jokowi.
Ada tanda Jokowi meninggalkan PDIP? Kuat dugaan. Makin dekat dan mesranya Jokowi dengan Golkar seolah memberi ketegasan. Dipertahankannya Airlangga Hartarto sebagai menteri merangkap ketua Golkar, dan masuknya Idrus Marham menggantikan Khofifah sebagai mensos, adalah bagian yang bisa diasumsikan untuk memperkuat skenario itu. Sementara, nama Puan Maharani dan Budi Gunawan yang kabarnya digadang-gadang PDIP untuk mendampingi Jokowi juga belum terdengar dari istana. Justru sejumlah nama kandidat cawapres Jokowi dari luar PDIP mulai merembes rumornya.
Di pihak lawan, ada Sudirman Said sebagai penantang, didampingi Siti Fauziyah dari PKB. Selain PKB, pasangan ini juga diusung koalisi oposisi: Gerindra, PKS dan PAN. Seandainya pasangan Sudirman Said-Siti Fauziyah menang, maka pemilih PKB belum tentu ikut memilih capres dari partai koalisi oposisi.
Tidak hanya Jawa Tengah, hal yang sama berlaku di Jawa Timur. Khofifah adalah tokoh yang kabarnya diendorse oleh Jokowi. Tapi, pemilih Khofifah tidak bisa diklasifikasi sebagai pemilih Jokowi. Ada PAN di sana yang menjadi bagian dari partai pengusung Khofifah. Muhammadiyah sebagai basis suara PAN bukan pendukung Jokowi. Apalagi jika ketua PAN, Zulkifli Hasan tidak ikut bergabung mengusung Jokowi di pilpres 2019, maka semakin jauh mengharapkan konstituen Khofifah di pilgub Jatim akan memberi dukungan sepenuhnya kepada Jokowi.
Permasalahan hukum yang saat ini menjerat ketua Pemuda Muhammadiyah menyisakan dampak politik tersendiri, khususnya bagi pilihan dan strategi PAN kedepan. Ini tentu tidak menguntungkan bagi penguasa. Emang ada hubungannya? Politik itu soal persepsi.
Begitu juga sebaliknya, jika pemenang di Jawa Timur adalah Saifullah Yusuf (Gus Ipul), tidak otomatis capres dari partai oposisi, apakah itu Prabowo Subianto atau Anies Rasyid Baswedan, akan mendapat limpahan suara. Gus Ipul itu calon dari PKB yang didampingi Puti Guntur Soekarno dari PDIP. Jika PKB ikut mengusung Jokowi, maka suara terbesarnya bisa lari ke Jokowi. Meski sesungguhnya PDIP-PKB (27,8% kursi DPR) bisa usung sendiri capres-cawapres di 2019. Puan Maharani-Muhaimin misalnya, atau Budi Gunawan-Muhaimin. Hal ini sangat bisa terjadi jika Jokowi tidak mengambil satu diantara orang terdekat Megawati itu.
Sementara di Jawa Barat ada empat pasang calon. Partai koalisinya campuran. Orang bilang: “acak-adul”. Tidak jelas mana koalisi sungguhan, mana yang pura-pura. Hanya Sudrajat-Achmad Syaikhu yang menegaskan posisinya sebagai oposisi. Pasangan ini diusung oleh Gerindra dan PKS yang sejak pemerintahan Jokowi memperjelas posisi oposisinya.
Di Jabar, Jokowi menjagokan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum. PKB, PPP, NasDem dan Hanura yang menjadi koalisi pengusungnya. Masih ada dua pasang calon lainnya: Dedy Mizwar-Dedi Mulyadi dan Tubagus Hasanuddin-Anton Charlian. Yang satu diusung Golkar-Demokrat. Yang satunya lagi diusung PDIP.
Siapapun yang menang di pilgub Jabar, diprediksi suaranya tidak sampai jumlah mayoritas. Mengandalkan massa pemilih dari satu calon, kemungkian paling tinggi perolehan suaranya 30 persen. Masih ada 60-70 persen suara sisanya. Karena itu, seandainya pun Ridwan Kamil menang, suaranya tidak terlalu signifikan bagi Jokowi. Demikian juga jika kalah.
Boleh jadi malah, kemenangan Ridwan Kamil, mungkin juga yang lain, adalah bagian dari kemenangan taipan yang back up di belakang. Apakah termasuk kemenangan Meikarta? Publik hanya bisa menebak-nebak curiga.
Tidak perlu tanya data. Dalam politik, data itu misteri. Tak ubahnya dunia gaib yang seluruh lorongnya gelap gulita.
Kemenangan pilkada, khususnya di tiga wilayah Jawa, tidak merepresentasikan pilpres 2019, karena tidak terpenuhinya syarat representasi baik calon maupun partai koalisi. Formasi koalisi, kendati saat ini bisa dipetakan, tapi mudah mencair dan pudar, terutama menjelang pilpres digelar. Akan banyak hal tak terduga yang potensial muncul.
Kesimpulannya, pemilih gubernur tidak berarti pemilih presiden. Yang mungkin terjadi, para pemilih malah akan bicara: gubernur yes, presiden no. Atau sebaliknya.
Maka, bagi mereka yang ingin menjadi presiden mesti pertama, memastikan kendaraan politiknya. Kedua, turun ke bawah dan langsung bersentuhan dengan simpul-simpul pemilih. Segala jurus pencitraan bisa dimainkan, jika masih laku.
Setelah itu, kita tunggu: apakah rakyat masih pilih incumbent, atau lebih senang dengan presiden yang baru. Di banyak pilihan, yang baru biasanya lebih menarik dari yang lama. Yang baru sering buat orang penasaran. Dengan catatan, pertama, yang lama dianggap tidak punya prestasi luar biasa dan membosankan. Kedua, yang baru dianggap lebih baik, menarik dan punya harapan.
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/28091/Gubernur-Yes-Presiden-No/