Sebagai makhluk sosial, sangat manusiawi jika ada kebutuhan untuk menjalin interaksi dan terkoneksi dengan orang lain. Hal itu memberikan rasa aman, tenang, pun rasa bahagia.
—
KETIKA seseorang memverbalkan permasalahannya, curhat kepada orang lain, sebelum direspons lawan bicaranya pun, itu sudah membantu. Saat orang yang mendengar bisa menanggapi dari perspektif berbeda, ada insight atau pencerahan. Namun, sebelum menumpahkan curhat, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan.
Curhat kepada Siapa?
Perhatikan kepada siapa, kapan, dan di mana curhat itu dilakukan. Terlebih jika yang dibicarakan hal sensitif, tentu harus lebih selektif. Pilih orang yang bisa dipercaya, jangan kepada orang yang mudah menyebarluaskan kepada yang lainnya. Kedua, banyak situasi bahwa orang curhat bukan untuk dihakimi, tetapi lebih ingin menyampaikan isi hati. Kalau ada kecenderungan lawan curhat ini suka nge-judge, bakal tidak mengenakkan. Kita juga harus lihat, orang yang dicurhatin itu dalam kondisi seperti apa? Bisa jadi, dia juga dalam keadaan sedih, berduka, kan nggak pas.
Waktu yang Tepat untuk Curhat
Idealnya ketika akan curhat, pilih waktu yang tidak terburu-buru, yang sekiranya cukup untuk ngobrol. Dipersiapkan saja waktu yang bisa santai. Tidak sedang memikirkan hal lain, jadi bisa fokus pada isi curhat. Dan memikirkan solusinya bersama-sama. Boleh banget untuk bikin janji dulu agar sama-sama menyediakan waktu. Misalnya, ”Aku mau curhat nih. Nanti malam atau besok ada waktu nggak?” Jadi, kedua pihak memang mengalokasikan waktu untuk sesi tersebut.
”Batasan” Curhat
Hal-hal apa yang masih ”aman” diceritakan? Yang nggak bikin risi lawan curhat. Biasanya, setiap orang punya batasan privasi masing-masing. Seberapa jauh. Tetapi ketika menyangkut orang lain, kita harus mempertimbangkan kerahasiaan. Misalnya, kita punya masalah dengan si A. Ketika kita cerita kepada orang lain, kan belum tentu si A berkenan hal-hal tentangnya diketahui orang lain. Membuka rahasia atau bahkan aib orang lain itu melanggar etika.
Terkait pasangan, misalnya istri curhat kepada sahabat perempuannya tentang masalah privasi suaminya. Suami sering kali tidak berkenan. Begitu pun sebaliknya. Seandainya istri merasa perlu curhat, bisa curhat kepada ahlinya. Tidak semua detail dibeberkan.
Kontrol Diri
Ketika menumpahkan curhat, tak jarang sedang dalam kondisi emosi besar. Curhat sambil nangis atau sambil marah. Itu lumrah ketika emosi bergejolak. Tapi, bukan berarti sampai keluar kata-kata kasar atau luapan emosi yang menggerakkan fisik. Itu bisa membuat pihak yang dicurhatin jadi nggak nyaman. Kita harus bisa mengontrol ucapan dan perilaku.
Siap dengan Konsekuensi
Ketika kita memulai curhat, harus siap dengan segala konsekuensi. Kalau hanya ingin didengar, sampaikan di awal, ”Saya pengin cerita doang nih, nggak usah kasih solusi atau saran, dengerin aja”. Tugas teman yang dicurhati pun berkurang, nggak usah bantu mikirin solusi. Karena dengan didengar saja, ada sifat terapeutik, melegakan. Beban berkurang.
Tapi, kalau dari awal bilang, ”Lagi bingung nih, butuh masukan,’’ harus siap jika saran orang tersebut nggak sesuai dengan yang diharapkan. Kalau masalahnya dirasa pelik atau khawatir menimbulkan konflik, bisa curhat kepada ahli, psikolog atau psikiater.
Curhat itu nggak hanya untuk perempuan. Hal yang sama berlaku buat laki-laki. Mengomunikasikan apa yang menjadi keresahan dan melibatkan orang lain untuk sama-sama memikirkan hal tersebut bisa membantu menurunkan stres lho. Kembali lagi, pertimbangkan lawan curhatnya. Kapan, di mana, serta apa yang dicurhatkan. Curhat kepada ahlinya –psikolog atau psikiater– juga bisa jadi pilihan. Nggak perlu khawatir, ini kebutuhan yang manusiawi. (*)
Credit: Source link