JawaPos.com – Turunnya harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi mendapat respons positif oleh masyarakat. Kini disparitas harga BBM subsidi dengan nonsubsidi tidak terlalu jauh. Hal itu berpotensi membuat masyarakat pelan-pelan memilih BBM dengan RON 92 ke atas.
Peneliti Pusat Studi Energi (PSE) UGM Agung Satrio Nugroho mengatakan, penurunan harga BBM nonsubsidi memberikan dampak yang positif ke Negara. Disparitas harga BBM subsidi dan nonsubsidi semakin kecil. Diprediksi masyarakat pelan-pelan akan pindah mengonsumsi Pertamax atau meninggalkan Pertalite.
“Perpindahan itu mirip ketika Pertamina menaikkan harga BBM nonsubsidi. Akibat disparitas harga Pertamax yang semakin besar, membuat masyarakat beralih mengkonsumsi Pertalite. Jumlah perpindahan konsumsi tersebut mencapai 5 persen,” ujar Agung Satrio Nugroho kepada wartawan, Rabu (4/1).
Sebagaimana diketahui mulai Januari 2023 harga Pertamax turun Rp 12.800 per liter. Sebelumnya Rp 13.900 per liter. Begitu juga untuk jenis Pertamax Turbo yang semula per liternya Rp 15.200, kini Rp 14.050.
Produk lainnya yang mengalami penurunan harga yaitu Dexlite yang dibanderol Rp 16.150. Padahal sebelumnya Rp 18.300. Harga Pertamina Dex juga dipangkas dari Rp 18.800 menjadi Rp 16.750.
Menurut Agung Satrio Nugroho, dengan berkurangnya konsumsi Pertalite membuat beban Negara untuk mensubsidi BBM semakin kecil. Dampak perpindahan konsumsi itu baru bisa terlihat tiga bulan ke depan. “Kami terus berharap disparitas harga antara BBM subsidi dan nonsubsidi semakin kecil,” kata Agung.
Dengan semakin sempitnya disparitas harga, Agung optimistis konsumsi BBM nonsubsidi terus meningkat. Harapannya, subsidi BBM yang dialokasikan Negara dapat dimanfaatkan untuk kebijakan strategis Nasional lainnya. Seperti penggembangan energi baru terbarukan.
Dengan turunnya harga BBM nonsubsidi membuat potensi volume konsumsi Pertalite dan Bio Solar berkurang. Hal itu bisa berdampak berkurangnya beban Pertamina menanggung BBM subsidi. Berkurangnya beban Pertamina terhadap BBM subsidi membuat mereka menjadi world class energy company.
“Selama ini Pertamina yang menanggung risiko bisnis akibat penyaluran BBM subsidi. Berkurangnya beban penyaluran BBM subsidi ini merupakan strategi yang sangat bagus untuk resiliensi Pertamina di 2023,” ujar Agung.
Agung mendukung rencana Menteri Erick yang menyiapkan langkah untuk mengevaluasi harga BBM nonsubsidi setiap pekan. Tujuannya, harga BBM nonsubsidi dapat langsung menyesuaikan dengan harga keekonomiannya.
“Saya mendukung rencana Menteri Erick untuk perintahkan Pertamina meninjau ulang harga BBM non subsidi setiap pekan sehingga disparitas dengan BBM subsidi semakin kecil. Evaluasi harga BBM non subsidi setiap pekan juga membuat iklim usaha distribusi BBM di Indonesia semakin sehat,” ungkap Agung.
Meski harga minyak mentah dunia cenderung turun akibat ancaman resesi ekonomi global, Agung meminta agar pemerintah tak gegabah menurunkan harga BBM subsidi. Belum selesainya kondisi geopolitik yang terjadi antara Ukraina dan Rusia, masih membuat potensi harga minyak dunia melambung kembali.
Jika Pemerintah menurunkan harga BBM subsidi, tapi tiba-tiba harga minyak dunia kembali naik, maka hal itu akan membuat posisi Pemerintah menjadi sulit. Sebab, penetapan harga BBM melibatkan proses politik yang sangat panjang. “Lebih baik alokasi lebih dari berkurangnya konsumsi BBM subsidi dipergunakan untuk penggembangan energi baru terbarukan. Sehingga penggunaan subsidi BBM menjadi tepat sasaran,” papar Agung.
Sementara itu, Kepala Pusat Studi Energi (PSE) UGM Sarjiya menambahkan, penurunan harga BBM nonsubsidi yang dilakukan Pertamina merupakan imbas dari turunnya harga minyak mentah dunia.
Credit: Source link