Ketika berselancar di media sosial, kita dengan mudah menjumpai konten foto maupun video yang tidak dapat dipastikan sumbernya. Malah sering kali disertai caption yang tidak sesuai dengan kejadian nyata sehingga menggiring persepsi netizen yang melihatnya. Bagaimana menyikapinya dari sudut pandang etika digital?
—
MEREKAM video atau mengambil foto orang lain tanpa persetujuan itu sebetulnya menyalahi privasi. Apalagi sampai mengunggahnya ke media sosial dengan tujuan tertentu. Entah itu konten lucu-lucuan ataupun untuk mempertontonkan kesalahan orang lain. Apalagi jika takarir yang disertakan jauh berbeda dengan situasi aslinya.
Dalam etika bermedia digital, hal seperti itu tidak boleh. Sebab, semua orang punya privasi. Tanyakan terlebih dahulu kesediaannya. Apa pun yang diunggah di media sosial sebaiknya mendapat persetujuan dari orang yang terlibat. Jangan sampai ketika konten tersebut tiba-tiba viral, yang bersangkutan baru tahu. Ditambah caption yang tidak seharusnya sehingga memancing komentar negatif.
Poin Pertama: Consent
Yang pertama dipastikan, harus ada persetujuan (consent). Kedua, yang perlu diingat bahwa tidak semua kejadian nyata yang kita lihat harus difoto atau direkam, kemudian diunggah di media sosial. Apalagi kalau hal itu tidak etis. Harus ada filter terhadap konten yang akan di-share.
Kita harus concern pada hal-hal positif di real life. Penuhi media sosial dengan hal-hal yang menginspirasi, menyenangkan, membuat kita melakukan kebaikan, dan yang mengedukasi. Saya rasa ide itu lebih baik daripada memenuhi internet dengan konten bermuatan negatif.
Kita ambil contoh ketika ingin menolong orang lain dengan merekam atau memotretnya, lantas diunggah dengan caption ajakan membeli supaya jualan orang tersebut laris. Sebetulnya itu hal yang baik. Namun, syaratnya kita harus izin dulu supaya mereka juga siap jika nanti tiba-tiba banyak dikenali orang dari media sosial. Jangan sampai orang tersebut tidak mengetahui apa yang kita bagikan di media sosial.
Kalau perlu, sebelum memotret atau memvideokan, kita kasih penjelasan. Baru kemudian mengambil konten dan mengunggahnya. Tunjukkan juga apa yang tadi kita unggah, informasi pada caption-nya seperti apa.
Kejelasan seperti itu saya rasa adalah komunikasi yang baik. Keinginan kita untuk membantu juga akan tersampaikan dan bisa diterima dengan tepat. Kalau komunikasinya tidak lancar, misalnya tiba-tiba kita mengambil konten dan memviralkan, si penjual bisa jadi khawatir karena tidak tahu informasi apa yang kita sampaikan.
Alih-alih merasa ditolong, jangan-jangan mereka merasa seolah yang meminta-minta. Padahal tidak. Persepsi orang kan beda-beda. Jangan sampai kebaikan kita tidak dikomunikasikan dengan baik sehingga menimbulkan ketidaknyamanan di kemudian hari.
Cek Ulang sebelum Beri Like, Komen, apalagi Share
Sebagai pengguna media sosial, kita juga harus lebih bijak dalam menyikapi konten yang ada. Ketika kita tidak benar-benar tahu konten itu sebetulnya terjadi pada siapa dan konteksnya seperti apa, sebaiknya kita tidak ikut menyebarkan.
Di media sosial sebetulnya tidak boleh memberikan engagement apa pun pada konten yang tidak jelas kebenarannya. Konten hasil memotret atau merekam diam-diam dari jauh itu kan meragukan. Kita tidak tahu persis kejadian yang sebenarnya seperti apa.
Jadi, sebaiknya tidak memberikan like, komen, atau share. Cukup lihat saja karena engagement-lah yang membuat konten itu semakin viral. Sebuah konten, baik video maupun foto, memang ada yang tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. Terkadang itu hanya satu bagian dari sebuah kondisi utuh. Satu part kecil yang diunggah tersebut bisa membangun paradigma ke arah yang tidak sesuai kenyataan. Karena itu, hati-hati dalam mengomentari sebuah konten. Cari tahu duduk permasalahannya. Jangan sampai kita main komentar dan membuat itu viral.
Hindari Cyberbullying
Memviralkan hal yang negatif bisa menjadi cyberbullying kepada pihak tertentu yang itu dilakukan masyarakat secara tidak sengaja. Namun, ketidaksengajaan itu bisa berakibat fatal jika orang tersebut ternyata tidak melakukan hal yang dimaksud pada keterangan foto atau video. Hal itu akan menjadi tekanan batin yang dapat memicu depresi jika orangnya tidak kuat.
*) RESTIA MOEGIONO, Praktisi keamanan siber , pegiat literasi digital
Credit: Source link