JawaPos.com – Kinerja saham tanah air diproyeksi masih menarik di tengah ketidakpastian dan ancaman resesi global. Mirae Asset Sekuritas memproyeksi indeks harga saham gabungan (IHSG) bisa tumbuh 15 persen sepanjang 2023. Perbankan dan konsumsi bisa jadi sektor saham pilihan.
Senior Investment Information Mirae Asset Martha Christina memprediksi IHSG dapat mencapai 7.880 pada tahun ini. Sementara di sepanjang Januari 2023, indeks saham utama domestik itu diperkirakan masih terbatas dengan support dan resistance pada rentang 6.739-7.084. Setidaknya, dapat mencapai 6.953 berdasarkan analisis teknikal.
“Terutama karena investor wait and see terhadap data makroekonomi. Apalagi, investor juga masih akan memerhatikan nilai jual bersih asing yang sudah Rp 1,7 triliun pada pekan pertama Januari, menyusul Rp 20 triliun sepanjang Desember,” jelas Martha dalam Media Day di bilangan Sudirman, kemarin (10/1).
Menurut dia, ancaman resesi dan keberlanjutan pengetatan moneter global masih menjadi sentimen utama. Meski, Indonesia kecil kemungkinan mengalami resesi. Berdasarkan indikator-indikator tersebut, sektor saham perbankan dan barang konsumsi bisa menjadi pilihan menarik. “Dengan pilihan saham BBCA, BBRI, BMRI, BBNI, INDF, MYOR, dan ICBP,” bebernya.
Pada kesempatan yang sama, Senior Investment Information Mirae Asset Nafan Aji Gusta mengatakan, faktor makroekonomi yang sedang ditunggu-tunggu investor dalam waktu dekat adalah keputusan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) pada awal Februari 2023. “Berdasaarkan data yang dikompilasi CME dan Bloomberg, mayoritas pelaku pasar global memprediksi suku bunga acuan Fed Fund Rate akan dinaikkan 25 bps menjadi 4,5 persen sampai 4,75 persen dari posisi saat ini 4,25 persen sampai 4,5 persen,” ungkapnya.
Terpisah, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyampaikan bahwa kinerja industri perbankan selama 2022 tumbuh positif. Serta mampu menahan tekanan perekonomian global. Dia optimistis kondisi perbankan akan tetap terjaga dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Meskipun perlu diwaspadai risiko di tengah ketidakpastian global yang dapat menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
OJK mencatat kredit perbankan tumbuh 11,16 persen persen year-on-year (YoY). Begitu pula, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) naik 8,78 persen YoY. “Tingkat pertumbuhan kredit dan DPK tersebut telah mencatatkan tingkat pertumbuhan yang melebihi level pra-pandemi Covid-19 dengan indikator risiko perbankan yang terjaga,” kata Dian.
Perkembangan kinerja perbankan juga tercermin dari kondisi likuiditas yang ample. Rasio AL/NCD dan AL/DPK masing-masing sebesar 134,97 persen dan 30,42 persen. Rasio likuiditas tersebut masih jauh di atas threshold. Walaupun lebih rendah dari periode tahun lalu lantaran akselerasi penyaluran kredit dan kebijakan kenaikan rasio giro wajib minimum (GWM).
Dian menyebutkan, bahwa permodalan bank tergolong kuat dan diyakini mampu menyerap risiko yang dihadapi. Terlihat dari rasio kecukupan modal alias capital adequacy ratio (CAR) sebesar 25,49 persen. Risiko kredit cenderung menurun. Dengan rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) gross dan nett masing-masing 2,65 persen dan 0,75 persen.
Sedangkan indikator risiko loan at risk berada di posisi 15,12 persen. “Penurunan risiko kredit tersebut antara lain disebabkan membaiknya kualitas kredit yang direstrukturisasi dampak Covid-19,” jelasnya.
Meski stabilitas sistem keuangan saat ini terjaga, namun perlu dicermati risiko di tengah ketidakpastian global yang dapat menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional. Antara lain, scarring effect pandemi Covid-19, kenaikan yield surat berharga, potensi depresiasi rupiah, dan penurunan likuiditas.
Editor : Bintang Pradewo
Reporter : Agas Putra Hartanto
Credit: Source link