JawaPos.com – Tren surplus neraca perdagangan Indonesia berlanjut. Selain kinerja ekspor impor yang belum pulih, rendahnya tingkat konsumsi masyarakat turut memengaruhi kinerja perdagangan, khususnya impor nonmigas.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan RI pada September 2020 surplus USD 2,44 miliar. Menurut Kepala BPS Suhariyanto, surplus pada September diperoleh dari posisi nilai ekspor USD 14,01 miliar yang lebih tinggi daripada impor yang mencapai USD 11,57 miliar.
”Neraca perdagangan pada September surplus USD 2,44 miliar. Jadi, selama lima bulan berturut-turut sejak Mei, Indonesia mengalami surplus,” ujarnya melalui video conference di Jakarta kemarin (15/10).
Suhariyanto memerinci, secara kumulatif, Indonesia mengalami surplus perdagangan dengan beberapa negara. Di antaranya, Amerika Serikat mencapai USD 1,08 miliar, India sebesar USD 562 miliar, dan Filipina USD 491 miliar. Namun, pada saat yang sama, Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan Tiongkok yang mencapai USD 879 miliar, Ukraina USD 140 miliar, dan Brasil USD 119 miliar.
Kinerja ekspor RI pada September mengalami kenaikan terutama didorong oleh sektor migas yang tumbuh 17,43 persen, sedangkan nonmigas tumbuh 6,47 persen. Meski tercatat tumbuh jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, ekspor secara tahunan atau year-on-year (yoy) masih tercatat turun 0,51 persen. ”Ekspor migas turun 12,44 persen, sedangkan nonmigas naik 0,21 persen,” imbuh dia.
Meski surplus lima kali berturut-turut, ekonom Indef Bhima Yudhistira menyatakan bahwa kinerja perdagangan harus dicermati. ”Surplus yang terus berlanjut mengindikasikan bahwa kinerja ekspor masih mengalami tekanan sejak awal pandemi,” ujarnya kepada Jawa Pos.
Permintaan di negara tujuan utama seperti kawasan ASEAN mengalami penurunan -13,5 persen dan Uni Eropa mengalami kontraksi -11,9 persen yoy sepanjang periode Januari–September 2020. Pelemahan kinerja ekspor yang konsisten terjadi karena beberapa negara masih memberlakukan pengetatan mobilitas penduduk. Di sisi lain, kapasitas produksi industri skala menengah-besar juga menyesuaikan dengan melemahnya sisi permintaan. ”Tren pelemahan ekspor masih terjadi hingga tahun 2021,” ucapnya.
Dari sisi impor, yang perlu menjadi perhatian adalah penurunan impor barang konsumsi, baik secara bulanan sebesar -6,12 persen maupun secara kumulatif dari Januari–September 2020 sebesar -9,36 persen. Bhima menyebutkan, penyebab utama menurunnya impor barang konsumsi adalah masyarakat kelas menengah ke atas yang cenderung menunda belanja dan memperbanyak simpanan.
Sementara itu, lanjut Bhima, meningkatnya angka PHK akibat pandemi membuat daya beli kelas pekerja makin turun. Hal tersebut juga dipengaruhi belum efektifnya stimulus PEN dalam memicu perbaikan daya beli masyarakat. Selain itu, penanganan pandemi yang kurang optimal membuat keyakinan masyarakat untuk berbelanja masih rendah. ”Jadi, dapat disimpulkan, surplus yang berturut-turut merupakan indikasi ekonomi Indonesia masih menghadapi kontraksi ekonomi yang dalam,” ulasnya.
Baca juga:
Bhima mengimbau pemerintah sebaiknya mempersiapkan skenario terburuk apabila kinerja neraca dagang masih melemah hingga tahun depan. ”Stimulus untuk menunjang ekspor, termasuk untuk UMKM, pencarian pasar-pasar alternatif, serta perbaikan daya beli masyarakat mendesak untuk dipercepat. Semakin lambat respons pemerintah, dengan data penerima stimulus yang akurasinya rendah, situasi ekonomi akan memburuk,” tegasnya.
Ekspansi Tertahan
BPS juga menyebutkan, berdasar Google Mobility Index pada September 2020, pergerakan masyarakat kembali turun. Penurunan pergerakan aktivitas atau mobilitas itu terlihat di tempat perdagangan ritel dan rekreasi, tempat belanja kebutuhan sehari-hari, taman, maupun tempat transit.
Menurunnya mobilitas masyarakat itu terjadi sejak momen PSBB kembali diperketat. Dari beberapa tempat, mobilitas yang paling rendah atau jauh di bawah normal adalah mobilitas tempat transit seperti bandara dan stasiun bus.
Pandemi yang belum berakhir tentu berdampak pada terganggunya rantai pasok. Hal itu juga berdampak pada aktivitas perdagangan. Akibatnya, delay atau pengiriman barang yang terlambat juga membuat pengusaha domestik menurunkan kapasitas produksinya.
Ekonom Chatib Basri mengatakan, PSBB membuat para pelaku usaha gigit jari dan mengalami kesulitan untuk melakukan ekspansi usaha. Dia mencontohkan kondisi restoran atau mal yang membatasi jumlah pengunjung hanya maksimal 50 persen. Di saat yang sama, ongkos sewa tetap berjalan seperti biasa meski dalam kondisi PSBB. ”Kalau buka usaha, rent enggak peduli orang yang datang 50 atau 100 persen, bayar sewa sama. Itu fixed cost yang datang hanya 50 persen, artinya company enggak bisa mencapai skala ekonomis,” ujarnya dalam diskusi virtual Selasa (13/10).
Kondisi itu disebutnya akan membuat perusahaan menjadi ”zombi”. Sebab, pemasukan yang didapatkan hanya untuk membayar ongkos-ongkos produksi atau bahkan sekadar menutup utang di bank. Akibatnya, ekspansi usaha pun terhambat. ”Company jadi company zombi. Dia kerja untuk bank, hanya bayar utang. Ini membuat orang tidak berminat untuk berekspansi usaha,” tutur dia.
Sementara itu, berdasar asesmen, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menilai pertumbuhan ekonomi domestik secara perlahan mulai membaik. Pemulihan tersebut didukung belanja pemerintah yang meningkat didorong stimulus fiskal dan perbaikan ekspor.
Hingga September 2020, realisasi stimulus fiskal mencapai Rp 318,48 triliun atau 45,81 persen dari pagu anggaran belanja. Sedangkan ekspor ditopang berlanjutnya permintaan oleh global. Terutama dari Amerika Serikat dan Tiongkok. ”Untuk beberapa komoditas seperti besi dan baja, pulp (bubur kertas) dan waste paper, serta tekstil dan produk tekstil,” ungkap Perry.
Saksikan video menarik berikut ini:
Credit: Source link