JawaPos.com – Bank Dunia menyetujui pinjaman senilai USD 500 juta (sekitar Rp 7,02 triliun) untuk Indonesia. Dana tersebut akan dialokasikan untuk memperkuat ketahanan keuangan dan fiskal. Termasuk, membangun dan memperkuat respons keuangan akibat bencana alam, risiko iklim, dan guncangan terkait kesehatan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut bencana dan wabah global sebagai ancaman kemajuan pembangunan. Dari 2014 hingga 2018 lalu, pemerintah pusat menghabiskan dana USD 90–500 juta (sekitar Rp 1,26–7,02 triliun) setiap tahun untuk tanggap bencana dan pemulihannya. Sementara itu, pada periode yang sama, pemerintah daerah menghabiskan sekitar USD 250 juta atau setara dengan Rp 3,51 triliun.
Ani memperkirakan, biaya untuk menanggulangi bencana akan terus meningkat. Penyebabnya, antara lain, perubahan iklim dan pertumbuhan kawasan perkotaan. Karena itu, kesiapan keuangan terhadap bencana, guncangan iklim, dan krisis kesehatan seperti Covid-19 menjadi semakin penting.
“Dukungan ini akan membantu pemerintah menjalankan respons secara lebih tepat sasaran dan tepat waktu,” katanya. Selain itu, merencanakan tanggapan keuangan yang efektif pasca guncangan akibat bencana dan iklim bakal membantu melindungi anggaran.
Langkah tersebut juga akan mendukung strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana. Pemerintah berupaya memperkuat ketahanan fiskal dan keuangan melalui Pooling Fund Bencana (PFB).
Itu menjadi mekanisme utama penyaluran dana pascabencana dari berbagai sumber. PFB bakal memanfaatkan pasar asuransi nasional maupun internasional untuk menyiapkan kapasitas keuangan.
Country Director Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Satu Kahkonen menambahkan, ketersediaan dan aliran dana yang lebih baik akan menguntungkan penduduk. Mereka bakal mendapatkan respons lebih cepat dan lebih tepat sasaran saat terjadi bencana atau pandemi.
“Ini akan menguntungkan masyarakat yang paling miskin dan rentan. Mereka yang paling terdampak jika tanggap bencana tertunda,” jelasnya.
Credit: Source link