JawaPos.com – Indonesia kini memasuki masa resesi akibat pandemi Covid-19 setelah menteri keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengumumkannya pada awal November lalu. Resesi itu terjadi sebagai konsekuensi pandemi virus Korona yang telah menimbulkan dampak hebat pada perekonomian.
Pengamat ekonomi dari Institute Teknologi Bisnis Ahmad Dahlan (ITB AD) Jakarta, Sutia Budi mengatakan, terganggunya kegiatan perekonomian telah membuat ekonomi nasional mengalami perlambatan. Sehingga sesuai dengan defenisi resesi ekonomi yang diakui dunia, resesi ditetapkan jika pertumbuhan ekonomi minus dalam dua kuartal.
Menurut Budi, ekonomi Indonesia masih tumbuh 2,97 persen di kuartal pertama, meski mengalami kontraksi year on year dibanding 2019. Sedangkan pada kuartal kedua, ekonomi Indonesia minus 5,32 persen.
“Namun kondisi ini juga dialami negara lain, seperti Inggris yang minus 20 persen, India minus 23 persen, Amerika Serikat minus 32,9 persen, serta Singapura minus hingga 42 persen,” katanya.
Lebih lanjut, Budi mengingatkan, Bank Dunia telah memproyeksikan adanya resesi ekonomi secara global dengan perkiraan pertumbuhan minus hingga 8-9 persen yang dialami 92,9 persen negara di dunia.
“Sehingga masih patut disyukuri, ekonomi Indonesia hanya minus 3,4 persen pada kuartal ketiga, sedangkan India pertumbuhan ekonominya minus 23,9 persen, Pakistan turun 12,5 persen, Malaysia minus 17,1 persen, Thailand minus 12,2 persen, dan Singapura minus 12,6 persen,” sebut Budi.
Menurut kandidat doktor ekonomi Institute Pertanian Bogor (IPB) itu, hal tersebut antara lain disebabkan perbedaan kebijakan lockdown.
“Jokowi menerapkan parsial lockdown, sehingga ekonomi masyarakat tetap berjalan di sebagian daerah. Begitu pula pemberlakuan protokol kesehatan ketat dan tracking agresif yang mampu menjaga aktivitas ekonomi tetap berjalan,” ujarnya.
Penyebab lainnya, kata Budi, disebabkan sejumlah kebijakan fiskal dan moneter yang dinilai mampu menyangga kemerosotan ekonomi, seperti pengalihan (refocusing) APBN secara agresif guna mengatasi dampak pandemi, relaksasi perpajakan hingga kebijakan restrukturisasi kredit perbankan yang sangat membantu pelaku ekonomi dan masyarakat.
Diketahui Relokasi APBN yang difokuskan pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial, serta pemulihan dunia usaha merupakan langkah brilian. Pemerintah menganggarkan dana hingga Rp 695,2 triliun guna membiayai program pemulihan ekonomi nasional.
“Bantuan modal usaha bagi 12 juta pelaku usaha mikro sebesar 2,4 juta rupiah per pelaku usaha adalah salah satu realisasinya,” papar Budi.
Budi juga mengingatkan, pemerintah akan dampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dimana Kadin menyebut 6,4 juta pekerja dirumahkan atau di-PHK hingga awal Oktober, sedangkan Kementerian Tenaga Kerja menyatakan 3 juta pekerja di PHK periode Maret-Juli.
“Hal ini berpotensi meningkatkan resiko kerawanan sosial, seperti kriminalitas dan konflik sosial. Semoga melakukan refocusing APBN pada program bantuan sosial bisa mengantisipasi kemungkinan ini,” harapnya.
Seperti diketahui, cukup banyak program pemerintah dalam mengatasi dampak pandemi, seperti subsidi gaji untuk 15,7 juta pekerja dengan alokasi 37,8 trilyun, diskon listrik 33,6 juta pelanggan PLN dengan anggaran 15,4 trilyun, program Kartu Pra-kerja sebesar 20 trilyun rupiah untuk 6 juta penerima, Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa sebesar 31,8 trilyun rupiah bagi 12 juta lebih kepala keluarga, bantuan sembako khusus wilayah Jabodetabek untuk 4,2 kepala keluarga dengan anggaran 6,8 trilyun, bansos tunai non Jabodetabek dengan anggaran 32,4 trilyun untuk 19,1 juta penerima, serta program sektoral lain yang diharapkan membantu kesulitan masyarakat.
Namun demikian, Budi meyakini pemulihan ekonomi juga meniscayakan partisipasi dan kegotongroyongan seluruh elemen bangsa. Sebab modalitas kegotongroyongan itu sangat berharga.
“Karena secara historis telah terbukti berulang kali menyelamatkan bangsa Indonesia melalui momen-momen sulit kita dalam berbangsa,” pungkasnya.
Credit: Source link