JawaPos.com – Pengusaha yang bergerak di bidang industri telekomunikasi berupaya gencar berinvestasi pada 2023. Upaya itu untuk mendukung perekonomian.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) berharap mendapat regulasi yang jelas. Menurut Ketua Umum APJII Muhammad Arif, langkah Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Perppu No 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja untuk memberikan kepastian hukum bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk pengusaha jasa telekomunikasi di Indonesia.
“Kami berharap Perppu tersebut dapat mengisi kekosongan hukum yang terjadi akibat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat,” ujar Muhammad Arif kepada wartawan, Selasa (3/1).
Dia menuturkan, pengusaha ingin berinvestasi di industri telekomunikasi nasional. Di antaranya dengan pembangunan infrastruktur telekomunikasi untuk mendukung perekonomian. “Yang kami butuhkan pijakan hukum yang jelas agar dapat memberikan kepastian berusaha,” ungkap Arif.
Maka dari itu, Arif berharap Pemerintah dapat merampungkan berbagai regulasi turunan dari Perppu Cipta Kerja. Tujuannya, ada aturan teknis pelaksanaan sehingga regulasi yang dikeluarkan Pemerintah tersebut dapat segera diimplementasikan.
Sebelumnya ahli hukum tata negara Refly Harun berpendapat bahwa sebelumnya MK menyatakan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat sehingga perlu diperbaiki. Bukan dikeluarkan perppu.
”Secara teoretis perppu itu bisa dibawa ke MK lagi dan MK bisa membatalkannya kalau komit dengan putusan terdahulu,” kata Refly Harun, Senin (2/1).
Terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyoroti kondisi darurat dalam Perppu Cipta Kerja yang bertolak belakang dengan asumsi makroekonomi APBN 2023. Itu sejalan dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen yang cenderung tinggi.
”Kalau ekonomi masih tumbuh positif, kenapa pemerintah menerbitkan perppu? Ancaman krisis akibat perang Rusia-Ukraina pun sejauh ini justru menguntungkan harga komoditas batu bara dan sawit,” ungkapnya.
Selain itu, ketegangan geopolitik dua negara tersebut justru memberikan surplus perdagangan Indonesia selama 31 bulan berturut-turut. Karena itu, seharusnya pemerintah menurunkan dulu asumsi pertumbuhan tahun depan menjadi minus. Dari situ baru ada kondisi yang mendesak untuk menerbitkan perppu.
Bhima mengatakan, kriteria kegentingan yang memaksa penerbitan perppu tidak dijelaskan secara objektif. Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 mengatur bahwa presiden berhak menetapkan perppu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Pengertian atau batasan kapan dan bagaimana presiden menentukan kegentingan mendesak tidak diatur secara jelas dalam UUD.
Namun, Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 telah menentukan tiga syarat agar suatu keadaan secara objektif dapat disebut sebagai kegentingan yang memaksa. Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasar UU yang berlaku. Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Ketiga, kekosongan hukum itu tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memakan waktu yang cukup lama.
Menurut Bhima, kehadiran Perppu Cipta Kerja justru menciptakan ketidakpastian kebijakan. Ini akan kontradiktif terhadap minat berinvestasi, khususnya penanaman modal asing (PMA). Masalah utama dalam daya saing salah satunya tingkat ketidakpastian kebijakan cukup tinggi. Akibatnya, investor bisa ragu untuk masuk pada 2023 kalau aturan berubah-ubah.
”Padahal, investor perlu kepastian regulasi jangka panjang. Idealnya, pada saat pembuatan produk regulasi, apalagi undang-undang, harus disiapkan secara matang. Kalau terburu buru ya jadi masalah,” beber lulusan University of Bradford itu.
Credit: Source link