Oleh: Salimah*
DARI Pilkada Gubernur Lampung 2018, sekali lagi bangsa ini bisa menarik pelajaran, betapa berbahayanya menunggangi agama dalam politik pilkada seperti saat ini. Sabtu (17/2) pagi media massa massa dan media sosial menyoroti calon Gubernur Lampung Ridho Ficardo yang menggunakan hari raya Imlek sebagai sarana kampanye. Disebut kampanye karena ketika mengunjungi sebuah vihara pada hari Jumat (16/2) siang, Ridho panjang lebar,– di dalam rumah ibadah itu,– memaparkan klaim keberhasilannya selama 5 tahun memimpin Lampung. Tak lupa Ridho juga secara lengkap menerangkan janji kerjanya kalau terpilih lagi menjadi Gubernur Lampung.
Bukan hanya itu, beredar foto Ridho sedang selfie dengan seorang suhu suci, pemimpin umat Budha ditengah berlangsungnya ibadah. Ia lupa telah melanggar peraturan larangan menggunakan rumah ibadah sebagai sarana kampanye. Tak pelak lagi, protes dan kecaman ramai dimedia sosial atas kampanye langsung Ridho, karena dianggap telah berlaku tidak pantas di dalam rumah ibadah.
Pelarangan penggunaan sarana agama sebagai alat kampanye nampaknya belum dipahami atau tidak dipedulikan oleh para kandidat. Pemerintah, Bawaslu dan KPUD harus berani bertindak tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang beresiko memicu sentimen SARA kemudian merusak Bhinneka Tunggal Ika.
Batasan sudah ditetapkan melarang kampanye dengan menggunakan sarana ibadah. Lebih tegas lagi dilarang membicarakan persoalan SARA dalam kampanye karena akan berpotensi mengganggu persatuan dan kesatuan. Semua pihak, masyarakat, tim sukses sampai ke pasangan calon seharusnya mematuhi. Aparat keamanan, pemerintah dan panitia pilkada diminta tegas menegakkan hukum dan peraturan.
Kasus Mustofa
Pada hari yang sama, kasus penangkapan Mustofa, salah satu calon gubernur yang seharusnya juga menjadikan pelajaran. Sebelumnya, Mustofa menggunakan para tokoh agama terkemuka dalam kampanyenya, bahkan sebelum dirinya ditetapkan sebagai salah satu calon gubernur. Tentu tujuannya adalah untuk meyakinkan masyarakat dan pendukungnya bahwa dirinya pantas didukung, karena tokoh-tokoh agamapun sudah mendukung dalam kampanyenya.
Memang, kesucian dan kemurnian agama, lewat tokoh-tokoh agama itu ampuh dipakai sebagai alat untuk menutupi semua lembaran hitam seseorang yang akan berlaga dalam Pilkada nanti. Sang pemuka agama dengan yakinnya memberikan garansi, Mustofa sebagai satu-satunya pemimpin yang mendapat restu dari ‘surga’. Masyarakat mudah silap, seakan ‘Yang Maha Kuasa’ pun menjadi pendukung Mustofa.
Nah,– pada saat Mustofa ditangkap KPK dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT) yang membuktikan dirinya terlibat kasus penyuapan pada anggota DPRD Lampung Tengah,–beranikan para pemimpin agama mempertanggung jawabkan ‘garansi surga’ yang sudah dijanjikan. Kemana tim sukses dan panitia acara yang menghadirkan tokoh-tokoh agama dalam mendukung Mustofa beberapa waktu lalu.
Membiarkan agama dipakai sebagai sarana kampanye seperti yang dilakukan oleh Mustofa hanya akan menyisakan luka di masyarakat. Luka itu akan tertanam pada orang-orang yang percaya pada janji tokoh agama bahwa Mustofa patut didukung menjadi Gubernur Lampung. Namun setelah dikerangkeng KPK, masyarakat dan pendukung yang terpapar dan menelan janji-janji tersebut harus menelan pahitnya.
Masyarakat terpaksa menerima kenyataan bahwa semua itu hanya omong kosong kampanye yang dibalut ajaran-ajaran agama. Kenyataan memang sangat menyakitkan dan bisa berdampak lebih parah dari yang bisa diduga. Apalagi kalau ada perlawanan dari pihak Mustofa dan pendukungnya.
Lebih penting dan utama lagi kesucian ajaran agama secara sengaja dan terencana telah dikotori oleh kepentingan kampanye politik untuk mendukung calon gubernur, Mustofa.
Larangan Undang-Undang
Ada baiknya pemerintah juga lebih gencar melakukan sosialisasi pada kalangan tokoh agama. Agar jangan mudah terbujuk oleh para calon peserta Pilkada karena akan beresiko merugikan umat dan agamanya sendiri. Apalagi kalau para calon kepala daerah nantinya bakal seperti Mustofa, yang diseret ke bui KPK.
Para pemimpin agama dan masyarakat harus sadar bahwa penggunaan tempat ibadah untuk kampanye adalah pelanggaran pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi undang-undang.
Berdasarkan Pasal 69 huruf I Undang-Undang disebutkan bahwa dalam kampanye dilarang menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan. Sanksi bagi siapapun yang melanggar aturan ini tertera di dalam Pasal 187 Ayat 3 pada Undang-Undang yang sama.
Undang-undang ini juga mengatur, setiap orang juga yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00.
Untuk itu, ada baiknya, para pemimpin agama, Biksu Kong Hu Chu, Suhu Budha, Ustad dan Ulama, Pendeta dan Pastor dan seluruh masyarakat harus bersatu menjaga kesucian agamanya masing-masing agar tidak mudah ditunggangi kepentingan sesaat politik praktis pilkada, dimanapun diseluruh Indonesia. Jangan sampai kesucian ajaran agama yang menjadi penuntun kehidupan,– tercemar oleh kepentingan segelintir orang.
*Penulis adalah jurnalis tinggal di Bandar Lampung
TAGS : Pilgub Lampung Pelanggaran Kampanye
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/29320/Jangan-Rusak-Kesucian-Agama-dalam-Pilkada-Serentak/