Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim (Foto: Muti/Jurnas.com)
Jakarta, Jurnas.com – Hanya dalam hitungan kurang dari 10 hari ke depan, genap sudah 100 hari Nadiem Anwar Makarim menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud).
Mantan bos Gojek tersebut secara mengejutkan bergabung dengan kabinet periode kedua Presiden Joko Widodo pada 23 Januari 2019, menggantikan Mendikbud sebelumnya, Muhadjir Effendy.
Penunjukkan Nadiem sempat memunculkan optimisme baru dunia pendidikan Indonesia. Sebab selain masih berusia relatif muda, lulusan Harvard University itu pernah sukses membawa Gojek naik daun.
Namun tak sedikit pula yang meragukan Nadiem. Bahwa mengurus kompleksitas pendidikan Indonesia, dianggap tak sesederhana menahkodai sebuah perusahaan ojek daring.
“Tahu apa Nadiem soal pendidikan di negeri ini?” demikian salah satu keraguan yang terlontar dari Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Ramli Rahim pada hari pelantikan Nadiem tahun lalu.
Keraguan serupa juga disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Budi Djatmiko. Sudah hampir tiga bulan pasca ditunjuk sebagai Mendikbud, Budi menilai Nadiem belum menjadi pendengar yang baik.
Janji Nadiem untuk menerima masukan dari semua pihak selama tiga bulan pertama, lanjut Budi, ternyata belum dilakukan dengan baik dan benar.
“Dia tidak ada belum maau mendengarkan komunitas yang mayoritas. Sekali lagi, dia terjebak oleh pembisik yang salah. Bagaimana mungkin Nadiem hanya mendengarkan PTS (perguruan tinggi swasta) dan PTN (perguruan tinggi negeri) yang besar,” kata Budi dalam pernyataannya pada Senin (20/1).
Harusnya Nadiem paham, bahwa dari total perguruan tinggi yang ada di Indonesia, hanya lima persen di antaranya yang memiliki jumlah mahasiswa di atas 10.000, kata Budi.
“Jika Nadiem tidak mau mengubah haluan dan tetap mendengar pembisik yang ngawur, sibuk dengan PTN dan PTS besar, apa yang dicita-citakan Jokowi tidak akan pernah tercapai,” tegas dia.
Sementara praktisi pendidikan, Indra Charismiadji secara halus menyindir Nadiem yang belum kunjung mampu mengurai ruwetnya pengelolaan pendidikan di Tanah Air.
Padahal jelang 100 hari masa jabatannya, seluruh insan pendidikan Indonesia masih menunggu langkah kongkrit Mendikbud sebagai masinis program pembangunan SDM unggul.
“Pengelolaan program pendidikan sangatlah tinggi kompleksitasnya. Dan seseorang dengan tingkat kecerdasan dan pendidikan dari perguruan tinggi terhebat dunia, tidak serta-merta dapat mengambil keputusan yang tepat,” ujar Indra dalam pernyataan yang berbeda.
Kondisi ini, kata Indra, menjadi cerminan apa yang terjadi di daerah, saat kepala dinas pendidikan diisi bukan dari orang-orang yang berlatar belakang mampu mengelola program pendidikan.
“Presiden Joko Widodo mengharapkan adanya perubahan dalam sistem pendidikan Indonesia menjadi berbasis teknologi,” kata dia.
“Semua orang pun melihat potensi besar yang dapat dilakukan oleh Mendikbud mengingat latar belakang beliau sebagai seorang pengusaha digital tingkat global yang sudah mengangkat nama Indonesia dengan Gojeknya,” lanjut Indra.
Sebab itu, Indra memandang terdapat sejumlah hal yang sebenarnya dapat segera dilakukan. Pertama, membuat aplikasi dengan sistem terintegrasi, yang dibuat oleh programmer berkelas.
Kedua, guna mengatasi kekurangan guru di sejumlah daerah dapat disiasati dengan teknologi, baik daring (online) maupun luring (offline). Meski tidak ideal, hal ini dianggap lebih baik ketimbang tanpa ada guru sama sekali.
“Ketiga, pembelajaran yang berbasis analisis data bisa dibuat untuk membantu memberikan diagnosa terhadap kondisi pembelajaran siswa, yang akan membantu guru memberikan evaluasi, dan meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia secara umum,” tandas dia.
Semenjak menjabat, Nadiem baru meluncurkan satu paket kebijakan yang disebut Merdeka Belajar, yang disampaikan pada 11 Desember 2019 lalu.
Dalam paket kebijakan itu, Mendikbud menyampaikan empat hal, yakni mengganti ujian nasional menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter, mengembalikan ujian sekolah (US), menyederhanakan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), dan meningkatkan kuota prestasi pada penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Namun Kemdikbud bukan cuma pendidikan dasar dan menengah (dikdasmen). Pasca dilebur dengan direktorat jenderal khusus menangani pendidikan tinggi yang sebelumnya berada di bawah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (kini berubah nama Kementerian Riset dan Teknologi), Mendikbud juga menjadi nahkoda perguruan tinggi se-Indonesia.
Jadi, masih sanggupkah Nadiem menjabat sebagai Mendikbud?
TAGS : Mendikbud Nadiem Anwar Makarim
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/66035/Jelang-100-Hari-Pertama-Nadiem-Masih-Sanggup-Jadi-Mendikbud/