Ilustrasi Pilpres 2019
Oleh: Hersubeno Arief
Kabar bakal segera bergabungnya dua partai ke Poros Jokowi semakin menegaskan bahwa praktik politik di Indonesia telah menjelma menjadi sebuah kartel. Mereka menerapkan pasar yang bersifat oligopoli, sehingga peluang munculnya figur alternatif menjadi tertutup.
Belum jelas benar partai apa saja yang akan segera bergabung dengan Poros Jokowi. Namun dari berbagai petunjuk yang disampaikan para petinggi partai koalisi, kemungkinan besar kedua partai itu adalah PKB dan Demokrat.
Ketua Umum PPP Romahurmuzy yang pertamakali “membocorkan” isu itu hanya menyatakan bahwa salah satu partai tersebut dalam pekan ini akan deklarasi. Sementara satu partai lainnya masih melakukan nego, agar digandeng menjadi cawapres Jokowi.
Selang sehari kemudian Sekjen PDIP Hasto Kristianto membenarkan dan menyatakan bahwa itu merupakan hasil kerja keroyokan para ketua partai pendukung Jokowi. Tanpa menyebut nama partai, Hasto menyatakan Selasa (10/4) akan berkunjung ke DPP PKB.
Seperti melengkapi sebuah puzzle Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto ketika ditanya wartawan dalam sidang kabinet, balik bertanya. “Baju yang saya kenakan warna apa?” Saat itu Airlangga mengenakan baju berwarna biru.
Ada dua partai yang identitasnya menggunakan warna biru. Demokrat dan PAN. Namun melihat naga-naganya yang dimaksud Airlangga adalah Demokrat. Partai berlambang bintang mercy itu memang telah lama menunjukkan gelagat akan bergabung dengan Jokowi.
Dalam Rapimnas Demokrat (1/3) Jokowi diundang untuk membuka acara. Dalam sambutannya Ketua Umum Demokrat SBY menyatakan terbuka kemungkinan Demokrat menjadi partai pengusung Jokowi. Putera mahkota SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebelumnya juga sudah bertandang ke istana. Selain bertemu Jokowi, AHY juga berbincang akrab dengan Gibran Rakabuming anak tertua Jokowi.
Bila benar Demokrat dan PKB bergabung dengan Poros Jokowi, maka partai yang mendukungnya berjumlah 7 dari total 10 partai yang ada di parlemen.
Demokrat dan PKB akan melengkapi PDIP, Golkar, PPP, Nasdem, dan Hanura yang telah lebih dulu bergabung. Mereka menyisakan PAN yang belum memutuskan akan bergabung dengan Poros Prabowo (Gerindra, PKS), atau Poros Jokowi.
Dari 7 partai, total perolehan suara pada Pileg 2014 Jokowi didukung 71.44%, atau sebanyak 398 kursi (76.53%) dari total 520 kursi di parlemen.
Dengan dukungan suara dan kursi sebanyak itu, pendukung Jokowi telah menjelma menjadi sebuah kartel yang bisa menentukan apa saja kebijakan di negara ini. Salah satu yang akan segera mereka lakukan adalah mendikte pasar pemilih, untuk memilih satu diantara dua pilihan : Jokowi atau Prabowo.
Agar skenario berjalan dengan baik, para pendukung Jokowi mencoba menciptakan sebuah pasar politik yang bersikap oligopoli. Yakni mencegah masuknya produk (kandidat) alternatif kepasar.
Pertemuan Luhut Panjaitan dengan Prabowo di Hotel Grand Hyatt, Jakarta (6/4) adalah sebuah operasi politik lain untuk menciptakan pasar oligopoli berjalan secara sempurna.
Kabarnya Luhut sempat merayu Prabowo agar bersedia menjadi wakil Jokowi. Dengan begitu skenario awal Jokowi melawan kotak kosong bisa kembali dijalankan. Luhut tampaknya mencoba memanfaatkan kegalauan Prabowo yang masih ragu untuk maju atau tidak sebagai capres.
Spekulasi tersebut secara tidak langsung dibantah Luhut. Ketika berbicara dihadapan kader Golkar (7/4), Luhut justru menyatakan mendorong Prabowo untuk maju pada pilpres. Namun sehari (8/4) kemudian ketika bicara di forum PDIP, Luhut membantah mendorong Prabowo.
Menurut Luhut mereka tidak secara spesifik bicara pilpres. Dalam pertemuan tersebut Luhut memang sempat menanyakan soal rencana Prabowo maju sebagai capres, dan Prabowo mengaku masih menimbang-nimbang. Dia mempersilakan kalau Prabowo mau maju, bukan mendorong.
Anehnya spekulasi soal benar tidaknya Luhut mendorong Prabowo masih berlanjut. Kali ini penjelasan justru datang dari Presiden Jokowi. Menurutnya, Luhut dan Prabowo memang sering bertemu. “Setiap hari mereka bertemu. Mereka berteman dekat,” ujar Jokowi.
Jawaban Jokowi yang terkesan sekenanya, dan bantahan Luhut semakin menguatkan dugaan ada sesuatu yang ditutup-tutupi. Fakta bahwa Jokowi menginginkan Prabowo sebagai wakilnya memang sudah terkonfirmasi. Sejumlah fungsionaris Gerindra membenarkan hal itu.
Ketika Prabowo menolak, maka mereka mencoba skenario kedua, yakni mendorong Prabowo mencalonkan diri sebagai capres.
Setidaknya ada dua keuntungan bagi Jokowi jika Prabowo memutuskan maju sebagai capres. “Sekali tepuk, dua lalat mati.”
Pertama, secara kalkulasi politik, Prabowo lebih mudah dikalahkan oleh Jokowi. Keyakinan tersebut juga sudah disampaikan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra. Survei-survei juga sudah mengkonfirmasi hal itu. Elektabilitas Prabowo masih jauh dibanding Jokowi.
Kedua, dengan keputusan Prabowo maju, maka peluang calon alternatif seperti Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, Ahmad Heryawan, Anies Matta, Tuan Guan Bajang, Zulkifli Hasan, dan sejumlah nama lain, menjadi tertutup. Mereka tidak mendapat tiket. Sejauh ini kandidat yang sudah berkomunikasi secara intensif dengan Prabowo adalah Gatot dan Anies.
Dengan elektabilitas Jokowi yang berkisar antara 35-40%, maka peluangnya untuk dikalahkan oleh calon lain di luar Prabowo sangat besar. Belum lagi ditambah mood public yang sangat menginginkan pergantian presiden. Hal itu setidaknya bisa terlihat dengan laris manisnya penjualan kaus #2019GantiPresiden. Kaus -kaus tersebut dijual di lapak-lapak pinggir jalan.
Dalam konteks ini bisa dipahami mengapa Luhut harus segera meralat pernyataannya. Bisa jadi bila tidak segera diluruskan akan muncul spekulasi, Luhut mengkooptasi Prabowo untuk tetap maju, hanya untuk kalah. Isu ini akan sangat menekan Prabowo dan membuat keraguannya untuk maju semakin besar.
Permainan para elite
Melihat manuver para petinggi partai dan elite politik seperti Luhut, menimbulkan sebuah pertanyaan besar. Siapakah sesungguhnya yang berkepentingan agar Jokowi terpilih kembali? Apakah Jokowi yang menjadi pemain utama, atau dia sekedar menjadi alat kepentingan kartel politik yang dikendalikan para oligarki?
Tanda-tanda bahwa kartel politik mulai bermain sesungguhnya sudah bisa dibaca sejak presidential threshold 20% kursi, dan 25% suara nasional disahkan sebagai syarat pencapresan.
Dengan syarat tersebut memang sudah terlihat adanya kepentingan politik yang membatasi peluang banyak calon untuk berlaga. Syarat tersebut juga bisa menjadi alat politik partai untuk menyandera Jokowi.
Situasi saat ini bisa jadi menguntungkan, sekaligus merugikan Jokowi. Peluangnya untuk terpilih kembali sangat besar, kendati modal elektabilitasnya rendah. Namun disisi lain, dia harus tunduk pada pilihan-pilihan yang disodorkan para elit partai.
Dengan kuatnya posisi para elite partai, maka mereka bisa mendikte Jokowi. Mulai dari komposisi kabinet, bagi-bagi jabatan, sampai bagi-bagi proyek kue pembangunan. Itu memang sifat dasar dari kartel yang oligopoli. Mentalitas koruptif, dan persaingan atau lebih tepatnya rebutan jabatan, proyek, rente pembangunan hanya terbatas di kalangan mereka.
Rakyat dipaksa untuk melakukan pilihan-pilihan yang terbatas. Pilihan yang telah mereka tentukan. Benar bahwa presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Tapi siapa yang menentukan capres/cawapres yang harus dipilih?
Jawabnya adalah kartel politik. Mereka adalah oligarki yang terdiri dari para elit politik, cukong besar, media, akademisi, praktisi hukum, penegak hukum, militer, para pemuka agama, alim ulama, LSM dll yang bersekutu demi langgengnya sebuah kekuasaan.
Rakyat sebagai pemilik suara dan penguasa tertinggi, hanya menjadi pajangan.
TAGS : Jokowi Pilpres Politik Kartel Hersubeno Arief
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/32148/Kartel-Politik-Pilpres-2019-Jokowi-Pelaku-atau-Korban/