JawaPos.com – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, Asia Tenggara tengah berkembang menjadi kawasan dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di Asia setelah Tiongkok, sehingga permintaan energi akan terus meningkat ke depannya. Guna mengejar target bauran energi terbarukan 23 persen pada tahun 2025 di kawasan Asia Tenggara, diperlukan kerja sama antaranegara di kawasan untuk mendorong transisi energi yang berkelanjutan.
“Banyak negara di kawasan Asia Tenggara yang masih bergantung pada energi fosil seperti batubara, gas, dan minyak. Sementara Asia Tenggara merupakan kawasan yang rentan terhadap dampak krisis iklim,” katanya dalam webinar bertajuk Status Transisi Energi di Asia Tenggara, akhir pekan lalu.
Menurut Fabby Tumiwa, upaya kolaboratif untuk beralih dari energi fosil ke energi terbarukan di kawasan ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada usaha global mencapai tujuan Persetujuan Paris. Indonesia sendiri mempunyai target 23 persen bauran energi baru terbarukan pada 2025 dan 31 persen pada 2030.
Namun, berdasarkan kajian IESR, jika tidak ada perbaikan kebijakan, maka Indonesia hanya akan mencapai 15 persen bauran energi terbarukan pada 2025 dan 23 persen pada 2030. Jika melihat tren dari 2013-2021, pangsa energi terbarukan meningkat meski lambat.
Padahal berdasarkan kajian IESR, Indonesia punya potensi teknis energi terbarukan lebih dari 7.000 GW. “Sedangkan yang sudah dimanfaatkan baru 11,2 GW saja,” ungkap Handriyanti Puspitarini.
Ia menilai lamanya pengurusan izin dan rumitnya mekanisme pengadaan proyek energi terbarukan di Indonesia membuat para investor enggan berinvestasi di Indonesia. “Indonesia perlu meningkatkan aspek politik, aturan kebijakan, dan finansial untuk mendorong pengembangan energi terbarukan yang lebih masif, terutama berdasarkan hasil kajian IESR, kesadaran publik terhadap transisi energi dan perubahan iklim mulai meningkat,” jelasnya.
Credit: Source link