JAKARTA.KRJOGJA.com – Kebijakan kenaikan harga rokok, baik melalui kenaikan harga jual eceran (HJE) maupun pengenaan atau kenaikan cukai rokok yang ditetapkan pemerintah, tidak efektif menurunkan jumlah perokok usia dini, dan prevalensi stunting.
Faktor utama penyebab perokok usia dini adalah lingkungan di dalam dan luar rumah, keingintahuan si anak, pengendali stress, dikuti dengan tingkat pendidikan ayah atau orang tua yang rendah.
Demikian, kesimpulan dari hail penelitian yang dilakukan tim peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya, Jawa Timur.
Hasil penelitian, metode penelitian beserta waktu penelitian dan nara sumber atau responden penelitian, disampaikan anggota tim peneliti antara lain Imanina Eka Dalilah, SE., ME dan Joko Budi Santoso, SE.,ME kepada pers kemarin di Jakarta.
“Faktor yang menyebabkan banyaknya jumlah perokok usia dini antara lain tingkat pendidikan orang tua khususnya ayah yang rendah serta adanya anggota keluarga yang merokok,” papar salah seorang anggota peneliti PPKE Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur, Imanina
Dijelaskan oleh Joko Budi Santoso, industri hasil tembakau (IHT) memiliki peran penting dalam menyumbang penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau yang mencapai lebih dari Rp. 150 Triliun pertahun selama 5 tahun terkahir.
Selain itu, IHT yang bersifat padat karya mampu menyerap jutaan tenaga kerja dalam rantai produksi maupun distribusi. Fakta ini juga didukung dengan resiliensi IHT dalam menghadapi berbagai krisis ekonomi, termasuk pandemic Covid-19.
Meski demikian, keberlangsungan IHT terus mendapat tekanan yang luar biasa melalui berbagai aturan untuk pengendalian konsumsi maupun untuk kepentingan penerimaan negara. Ketatnya regulasi dan kebijakan kenaikan tarif cukai berdampak pada penurunan volume produksi dan juga penurunan pabrikan rokok.
Data menunjukkan, volume produksi selama periode 2016-2018 menurun sebesar 4,59% dan jumlah pabrik rokok dari 4.793 perusahaan pada 2007 hanya tinggal sekitar 10% (487 perusahaan) di 2017 .
Disamping itu, IHT juga menghadapi tekanan yang terus menggerus, salah satunya adalah isu harga rokok terlalu murah mendorong peningkatan prevalansi merokok pada anak usia dini. Tidak hanya itu, isu stunting dan dampaknya bagi kesehatan terus di digaungkan.
Hal itu memberikan tekanan bagi pemerintah untuk mengendalikan konsumsi produk IHT melalui kenaikan harga dengan simplikasi tarif dan kenaikan cukai rokok. Harapannya dengan kebijakan harga akan merubah behavior masyarakat dalam mengkonsumsi produk IHT.
“Ditengah terjadi penurunan volume produksi dan jumlah pabrikan rokok yang signifikan, data Riskesdas menunjukkan angka prevalensi merokok usia di atas 10 tahun di Indonesia mengalami penurunan dari 29,3% pada 2013 menjadi 28,8% pada 2018. Tetapi, penurunan volume produksi rokok dan penurunan jumlah pabrikan rokok yang besar ternyata berbanding terbalik dengan jumlah perokok usia dini,” ungkap Joko Budi Santoso.
Fakta ini, menurut dia, menjadi indikasi awal bahwa kebijakan kenaikan tarif tidak selalu linier dengan perspektif teori yang digunakan. “Fenomena ini menjadi salah satu reason perlunya kajian yang lebih mendalam terkait penyebab meningkatnya perokok usia dini di Indonesia,” ujar Joko Budi Santoso.
Lebih lanjut Joko Budi Santoso memaparkan, kebijakan kenaikan tarif cukai dan kenaikan harga rokok yang beberapa kali dilakukan pemerintah nyatanya tidak searah dengan trend jumlah perokok usia dini dalam beberapa tahun terakhir. Di tengah penurunan volume produksi rokok dan penurunan jumlah pabrikan rokok yang signifikan, jumlah perokok usia dini meningkat dari 7,2% di tahun 2013 menjadi 9,1% di tahun 2018.
“Hal ini mengindikasikan kebijakan Pemerintah melalui kenaikan harga rokok berpotensi tidak efektif menurunkan jumlah konsumsi rokok. Kebijakan tersebut justru dapat mengancam keberlangsungan IHT yang memiliki peran strategis bagi perekonomian nasional,”:jelas Joko Budi Santoso.
Padahal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Pemerintah mulai tahun 2021 mentargetkan akan menurunkan prevalensi perokok anak usia sekolah. Jika tahun 2021 terdapat 9,1% perokok anak usia sekolah, tahun 2022 akan menjadi 9,1%, sehingga tahun 2024 tinggal 8,8% anak usia sekolah yang masih merokok.
Penurunan prevalensi ini bertujuan untuk meningkatkan sumber daya manusia agar lebih berkualitas dan berdaya saing. Salah satu strategi Pemerintah adalah dengan cara menaikan cukai dan simplifikasi. Jika ini tetap dipaksakan Pemerintah, kerugian akan ditanggung semua pihak.
Hasil dari kenaikan cukai adalah meningkatnya rokok ilegal. Negara tidak mendapat penerimaan, pasar rokok legal tergerus, terjadinya potensi PHK karyawan dan konsumen tidak mendapat jaminan mengenai mutu produk ilegal.
Hasil Penelitian
Lebih lanjut, baik Joko Budi Santoso maupun Imanina menjelaskan, hasil survei yang dilakukan oleh PPKE FEB Universitas Brawaijaya, didapatkan data, 47% perokok usia dini berada dalam keluarga yang memiliki pendapatan lebih dari Rp 2.000.000 per bulan. Angka pendapatan tersebut menurut kriteria Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan kategori tidak miskin.
“Hasil survei terhadap jumlah rokok yang dikonsumsi oleh perokok usia dini menunjukkan bahwa 28% perokok usia dini mengkonsumsi rokok sebanyak 1 – 2 batang per hari, 27% mengkonsumsi 5 – 6 batang per hari, 18% mengkonsumsi 3 – 4 batang per hari,” papar Joko Budi Santoso.
Ditambahkan oleh Imanina, hasil survei terhadap perilaku merokok pada usia dini juga menunjukkan bahwa 95% perokok usia dini membeli harga rokok seharga Rp 1500 per batang, dan 4% perokok usia dini membeli rokok seharga Rp1000 per batang.
Perokok usia dini cenderung lebih sering membeli rokok dalam bentuk eceran di pedagang kaki lima (PKL). Selain membeli rokok secara eceran, perokok usia dini juga kerap mengkonsumsi rokok dengan pola “join” bersama teman sebayanya.
Dalam melakukan penelitian dan kajiannya, lanjut Imanina, pihak PPKE Universitas Brawijaya menggunakan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis perilaku merokok pada usia dini dan prevalensi stunting, sedangkan metode kualitatif digunakan dalam analisis perilaku merokok pada ibu hamil.
Penelitian perilaku merokok pada usia dini dilakukan di beberapa wilayah yakni di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Banten. Berbagai provinsi tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian karena masing-masing dari wilayah itu telah mewakili daerah penghasil tembakau dan daerah non-penghasil tembakau untuk melihat faktor dominan penyebab usia dini merokok
Total responden dalam penelitian perilaku merokok pada usia dini adalah 900 orang yang terdiri atas 450 perokok dan 450 non-perokok dengan ketentuan rentang usia 10-18 tahun. Total jumlah responden tersebut dipilih berdasarkan perhitungan rumus slovin. Penelitian berlangsung selama dua bulan sejak bulan Maret sampai April 2020. (Imd)
Credit: Source link