DENPASAR, BALIPOST.com – Bali dinobatkan tidak hanya sebagai destinasi terbaik pilihan wisatawan mancanegara tapi juga destinasi wellness terbaik dunia. Namun, kebijakan dan UU yang mengatur tentang pajak spa yang naik menjadi 40 persen, yang masuk dalam kategori wellness justru dapat menurunkan daya saing industri spa Bali. Hal itu terungkap pada Dialog Merah Putih Bali Era Baru tentang”Kenaikan pajak spa dan implikasinya bagi Bali” di Warung Bali Coffee Jl. Veteran 63 Denpasar, Rabu (10/1).
Ketua IHGMA Bali, Yoga Iswara mengatakan, industri pariwisata terkejut dengan implementasi UU yang terkesan tiba-tiba karena kenaikannya dari 15 persen ke 40 persen. Selain itu, aturan tersebut mengategorikan spa ke dalam hiburan, sementara di Bali selama ini spa masuk dalam kategori wellness.
Pengategorian spa di Bali ke dalam wellness bukan tanpa alasan. Ada beberapa rujukan yang menjadi pedoman pelaku industri spa di Bali. Berdasarkan definisi spa yang berarti sante par aqua atau solus per aqua berarti sehat melalui air. “Kalau dibandingkan dengan di Bali yang memang memiliki ritual matirta dan malukat sangat erat kaitannya dengan kegiatan tradisi dan budaya, sehingga spa merupakan kombinasi dari aktivitas tradisional dan modern yang membuat Bali terkenal dengan spa wellness-nya,” jelasnya.
Salah satu produk spa Bali yang terkenal adalah Balinese Massage di seluruh dunia di antaranya di Thailand, Malaysia, Maldive memiliki menu Balinese Massage. Bahkan praktisinya didatangkan dari Bali. “Begitu tingginya penghargaan dunia internasional tehadap wellness sendiri bahkan Bali menjadi salah satu destinasi wellness terbaik dunia, bukan hiburan,” ungkapnya.
Berpedoman dari hal itulah, menurutnya aturan kenaikan pajak spa menjadi 40 persen tidak pas jika menempatkan spa sebagai kategori hiburan karena nomenklaturnya bukan di hiburan. “Ditambah lagi dengan aturan nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan, memang jelas spa masuk ke dalam salah satu usaha pariwisata yang bukan pure hiburan. Begitu juga dilihat dari sisi kesehatan, ada Permenkes 8 tahun 2014 tentang pedoman pelayanan spa bahwa spa merupakan upaya kesehatan Indonesia. Jadi jelas di sana bahwa nomenklatur spa ada di wellness,” imbuhnya.
Menurut Yoga Iswara, dilihat dari izin usaha, sesuai PMK 14 tahun 2021 tentang standar kegiatan usaha dan perizinan (berbasis risiko) bahwa spa adalah usaha perawatan yang memberikan layanan tradisional maupun modern dengan menggunakan air dan alat alat lainnya dengan tujuan menyeimbangkan body, soul dan mind.
Ia berharap marwah spa jangan diturunkankelaskan menjadi hiburan. “Selama ini spa kategori wellness dengan mengombinasikan dimensi tradisional dan modern untuk menyeimbangkan body, soul and mind. Itulah yang menjadi esensi dari spa di Bali. Kalau spa di luar Bali, kita tidak tahu, mungkin itu yang dijadikan dasar pemberlakuan UU tapi kami berharap ketika ada kegiatan yang di luar dari nomenklatur spa seharusnya tidak boleh menggunakan nama spa karena spa ini sudah sangat tegas sekali ritual atau kegiatan yang tujuannya seperti apa dan kami berjuang agar Marwah spa jangan sampai diturunkelaskan menjadi hiburan,” tegasnya.
Jika aturan ini dipaksakan, dampaknya tentu akan ada kenaikan harga spa yang membuat minat terhadap layanan spa menurun. Kenaikan pajak spa juga berdampak pada berkembangnya spa di negara lain dan terancam gulung tikarnya industri spa Bali. “Karena para pekerja lari ke luar negeri membesarkan Balinese Massage di negara lain sedangkan kita pemilik Balinese Massagae akan melemah bahkan UMKM yang menyalurkan produk spa juga akan terganggu,” bebernya.
Upaya yang dilakukan industri spa selama ini telah membawa Bali sebagai destinasi terbaik wellness, maka masalah ini diharapkan bisa ditunda implementasinya sambil menunggu proses judicial review terkait pengkategorian ini.
Ketua Bali Villa Association (BVA) Putu Gede Hendrawan mengatakan, kenaikan pajak spa akan mengagetkan terutama akan mengganggu sistem marketing. Bahkan kenaikan pajak 167 persen tersebut disebut gila. “Kita disini gonjang ganjing dengan naiknya pajak spa, sedangkan negara lain yang memetik peluang, mengambil celah, mereka malah menurunkan pajak,” ujarnya.
Ia juga mempertanyakan latar belakang aturan ini, pasalnya sosialisasinya sangat kurang. “Mengapa dilakukan kenaikan pajak spa, apa tujuannya,” tandasnya. Bahkan pemerintah tidak ada melibatkan PHRI atau stakeholder pariwisata di Bali dalam memutuskan aturan tersebut. “Terkait dengan kajian masuknya spa menjadi objek pajak 40%, kami semua syok, GIPI pun tidak ada yang mengetahui, itu yang mengagetkan,” tandasnya.
Ia berharap aturan ini bisa ditunda penerapannya di Bali, karena setelah UU diterbitkan dan Perda dikeluarkan, Kabupaten Badung, Gianyar, Tabanan dan Denpasar sudah merilis SE untuk Perda pengenaan pajak 40 persen untuk spa. (Citta Maya/balipost)
Credit: Source link