Kepolisian bermotor
Jakarta – Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Vennetia R. Dannes menilai, resposifitas gender di kalangan aparat penegak hukum (APH) masih lemah.
Padahal menurutnya, proses hukum sangat ditentukan pada kualitas pemahaman dan responsifitas APH dalam penanganan, yang mampu menyelesaikan kasus hukum dan melindungi para korban, termasuk korban perempuan dan anak sesuai amanat peraturan perundang-undangan.
“Kendala yang paling dirasakan saat ini adalah belum tercapainya kesamaan persepsi yang responsif gender di kalangan APH tentang alat bukti kasus kekerasan yang kompleks, mekanisme perlindungan bagi saksi dan korban, serta koordinasi dalam pemenuhan hak korban,” kata Vennetia di Denpasar, Bali, pada Minggu (30/7).
Vennetia memang tak menampik sudah ada Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di tingkat Polsek selain di Polres dan Polda. Namun kurangnya Polwan dan SDM yang terlatih menurutnya masih menjadi kendala yang cukup besar.
Berdasarkan hasil Survey Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016 yang dilakukan Kementerian PPPA bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), satu dari tiga perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan oleh pasangannya, dan selain pasangan selama hidupnya.
Survey tersebut juga menemukan bahwa 15,8% perempuan yang pernah/sedang menikah pernah mengalami kekerasan seksual dari pasangannya. Sementara 34.4% perempuan belum pernah menikah mengalami kekerasan seksual dari selain pasangannya.
“Hal yang patut disayangkan adalah belum semua perempuan yang menjadi korban tersebut dapat mengakses keadilan, karena lemahnya penegakan hukum yang akhirnya membuat pelaku tidak mendapatkan efek jera dan kasus kekerasan terhadap perempuan terus terjadi,” tegas Vennetia.
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/38513/Kepolisian-Dinilai-Belum-Responsif-Gender/